Kamis, 29 Desember 2011

Pendidikan aqidah

Hubungan Aqidah Dengan Rasa Cinta Kepada Kedua Orang Tua
 
Disusun Oleh:
Rahmawati                   NIM. 0901290618




DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………………..…… 1
Kata Pengantar....................................................................................................................... 2
Daftar Isi …………………………………………………………………………….………3
BAB    I        :  PENDAHULUAN ………………………………………………………… 4
BAB   II       :  PEMBAHASAN
A.    Aqidah dan Akhlak ………………………………………………..…….6
B.     Akhlak Anak Terhadap Orang Tua ………………………………...……9
C.     Pentingnya Berbakti Terhadap Kedua Orang Tua …………………..….12
D.    Ihsan kepada Orang Tua ..........................................................................23
E.     Hubungan Aqidah Dengan Rasa Cinta Kepada Orang Tua ……………            31
BAB   III     :  PENUTUP
Simpulan ………………………………………………………………....... 32
DaftarPustaka ………………………………………………………………………….… 34










BAB I
PENDAHULUAN
Al Qur’an secara tegas mewajibkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) merupakan alkhoir, yakni nilai kebaikan yang secara universal diwajibkan oleh Allah SWT. Artinya nilai kebaikan berbakti kepada orang tua itu berlaku sepanjang zaman dan pada seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi bagaimana caranya berbakti sudah termasuk kategori al ma’ruf, yakni nilai kebaikan yang secara sosial diakui oleh masyarakat pada suatu zaman dan suatu lingkungan. Dalam hal ini Al-Qur‘an pun memberi batasan, misalnya seperti yang disebutkan dalam surat al Isra, bahwa seorang anak tidak boleh berkata kasar apalagi menghardik kepada kedua orang tuanya.
Seorang anak juga harus menunjukkan sikap berterima kasihnya kepada kedua orang tua yang menjadi sebab kehadirannya di muka bumi. Di mata Allah SWT sikap terima kasih anak kepada orang tuanya dipandang sangat penting, sampai perintah itu disampaikan senafas dengan perintah bersyukur kepada-Nya (anisykur li wa liwa lidaika).
Meski demikian, kepatuhan seorang anak kepada orang tua dibatasi dengan kepatuhannya kepada Allah SWT. Jika orang tua menyuruh anaknya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Allah SWT, maka sang anak dilarang mematuhi perintah orang tua tersebut, seraya tetap harus menghormatinya secara patut (ma’ruf) sebagai orang tua. Seorang anak, oleh Nabi juga dilarang berperkara secara terbuka dengan orang tuanya di forum pengadilan, karena hubungan anak orang tua bukan semata-mata hubungan hukum yang mengandung dimensi kontrak sosial melainkan hubungan darah yang bernilai sakral.
Sementara itu orang tua harus adil dalam memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Diantara kewajiban orang tua kepada anak-anaknya adalah memberi nama yang baik, menafkahi, mendidik mereka dengan agama (akhlak kehidupan) dan menikahkan jika sudah tiba waktunya.
Adapun jika orang tua sudah meninggal, maka kewajiban anak kepada orang tua adalah (a) melaksanakan wasiatnya, (b) menjaga nama baiknya, (c) meneruskan cita-citanya, (d) meneruskan silaturahmi dengan handai tolannya, (e) memohonkan ampun kepada Allah SWT.
Dalam hubungan dengan kerabat, secara umum semangat hubungan baiknya sejalan dengan semangat keharusan berbakti kepada orang tua. Paman, bibi, mertua dan seterusnya harus dideretkan dalam deretan orang tua, saudara misan yang muda dan seterusnya dideretkan pada saudara muda atau adik, yang tua dideretkan kepada kakak. Secara spesifik kerabat harus didahulukan dibanding yang lain, misalnya jika seseorang mengeluarkan zakat, kemudian diantara kerabatnya ada orang miskin yang layak menerima zakat itu, maka ia harus didahulukan dibanding orang miskin yang bukan kerabat. Semangat etik hubungan kekerabatan diungkapkan oleh Rasulullah dengan kalimat menghormati kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda. (laisa minna man lam yuwagir kabirana wa lam yarham soghirana).[1]










BAB II
PEMBAHASAN
  1. Aqidah dan Akhlak
Kata aqidah diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Diantaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: " ‘Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan " ‘Uqdatun Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).

Ÿw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsム$yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷ƒF{$# ( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ㍃̍øtrB 7pt6s%u ( `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷ƒr& #sŒÎ) óOçFøÿn=ym 4 (#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ  
Artinya:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya) (Al-Maa-idah : 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu'jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada). Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah baik itu benar ataupun salah.
Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi) yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah Islamiyyah: Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta'ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta'ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW.
Aqidah Islamiyyah: Jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena itulah pemahaman Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah Islamiyyh adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi'in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Nama lain Aqidah Islamiyyah: Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari'iah dan al-Iman. Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu ‘aqidah. Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 33-35.
Aqidah adalah bentuk masdar dari kata “ ‘aqoda, ya’qidu, ’aqdan-‘aqidatan ” yang berarti simpulan, ikatan, sangkutan, perjanjian dan kokoh. Sedang secara teknis aqidah berarti iman, kepercayaan dan keyakinan. Dan tumbuhnya kepercayaan tentunya di dalam hati, sehingga yang dimaksud aqidah adalah kepercayaan yang menghujam atau tersimpul di dalam hati.
Sedangkan menurut istilah aqidah adalah hal-hal yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa merasa tentram kepadanya, sehingga menjadi keyakinan kukuh yang tidak tercampur oleh keraguan.
Menurut M. Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan aqidah menurut ketentuan bahasa (bahasa arab) ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya.
Adapun aqidah menurut Syaikh Mahmoud Syaltout adalah segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh syakwasangka dan tidak dipengaruhi oleh keragu-raguan.
Aqidah atau keyakinan adalah suatu nilai yang paling asasi dan prinsipil bagi manusia, sama halnya dengan nilai dirinya sendiri, bahkan melebihinya.
Sedangkan Syekh Hasan Al-Bannah menyatakan aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan.[2]
Sedang pengertian akhlak secara etimologi berasal dari kata “Khuluq” dan jama’nya “Akhlaq”, yang berarti budi pekerti, etika, moral. Demikian pula kata “Khuluq” mempunyai kesesuaian dengan “Khilqun”, hanya saja khuluq merupakan perangai manusia dari dalam diri (rohaniah) sedang khilqun merupakan perangai manusia dari luar (jasmani).
Selanjutnya Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak dengan keadaan gerak jika yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak memerlukan pikiran.
Akhlak adalah “sikap hati yang mudah mendorong anggota tubuh untuk berbuat sesuatu”.
Adapun Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, yang disebut akhlak itu ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itulah yang dinamakan akhlak. Dalam penjelasan beliau, kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan sesudah bimbang, sedangkan kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah dikerjakan. Jika apa yang bernama kehendak itu dikerjakan berulang-kali sehingga menjadi kebiasaan, maka itulah yang kemudian berproses menjadi akhlak.
Dengan demikian pendidikan aqidah akhlak adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengimani Allah SWT dan merealisasikannya dalam perilaku akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan Qur’an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dan hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.

  1. Akhlak Anak Terhadap Orang Tua
Akhlak berasal dari bahasa arab yaitu alkhulq, al-khuluq yang mempunyai arti watak, tabiat. Secara istilah akhlak menurut Ibnu Maskawi adalah sesuatu keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi dua, ada yang berasal dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat dan akhlak.
Orang tua adalah penyebab perwujudan kita. Kalaulah mereka itu tidak ada, kitapun tidak akan pernah ada. Kita tahu bahwa perwujudan itu disertai dengan kebaikan dan kenikmatan yang tak terhingga banyaknya, plus berbagi rizki yang kita peroleh dan kedudukan yang kita raih. Orang tua sering kali mengerahkan segenap jerih paya mereka untuk menghindarkan bahaya dari diri kita. Mereka bersedia kurang tidur agar kita bisa beristirahat. Mereka memberikan kesenangan-kesenangan kepada kita yang tidak bisa kita raih sendiri. Mereka memikul berbagai penderitaan dan mesti berkorban dalam bentuk yang sulit kita bayangkan.
Dengan demikian, menghardik kedua orang tua dan berbuat buruk kepada mereka tidak mungkin terjadi kecuali dari jiwa yang bengis dan kotor, berkurang dosa, dan tidak bisa diharap menjadi baik. Sebab, seandainya seseorang tahu bahwa kebaikan dan petunjuk allah mempunyai peranan yang sangat besar, tentunya siapa tahu pula bagaimana harus berbuat baik kepada orang yang semestinya diperlakukan dengan baik, bersikap mulia terhadap orang yang telah membimbing, berterima kasih kepada orang yang telah memberikan kenikmatan sebelum dia sendiri bisa mendapatkannya, dan yang telah melimpahinya dengan berbagai kebaikan yang tak mungkin bisa di balas. Orang tua adalah orang-orang yang bersedia berkorban demi anaknya, tanpa memperdulikan apa balasan yang akan diterimanya.
  1. Kewajiban kepada ibu.
Kalau ibu merawat jasmani dan rohaninya sejak kecil secara langsung, maka bapa pun merawatnya, mencari nafkahnya, membesarkannya, mendidiknya dan menyekolahkannya, disamping usaha ibu.
Kalau mulai mengandung sampai masa muhariq (masa dapat membedakan mana yang baik dan buruk), seorang ibu sangat berperan, maka setelah mulai memasuki masa belajar, ayah lebih tampak kewajibannya, mendidiknya dan mempertumbuhkannya menjadi dewasa, namun apabila dibandingkan antara berat tugas ibu dengan ayah, mulai mengandung sampai dewasa dan sebagaimana perasaan ibu dan ayah terhadap putranya, maka secara perbandingan, tidaklah keliru apabila dikatakan lebih berat tugas ibu dari pada tugas ayah. Coba bandingkan, banyak sekali yang tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang hanya seorang ibu saja yang dapat mengatasinya tetapi sebaliknya banyak tugas ayah yang bisa dikerjakan oleh seorang ibu. Barangkali karena demikian inilah maka penghargaan kepada ibunya. Walaupun bukan berarti ayahnya tidak dimuliakan, melainkan hendaknya mendahulukan ibu daripada mendahulukan ayahnya dalam cara memuliakan orang tua.
2. Berbuat baik kepada ibu dan ayah, walaupun keduanya lalim
Seorang anak menusut ajaran islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai si anak menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya orang tua berbuat lalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas, mengimbangi ketidakbaikan orang tua kepada anaknya, Allah tidak meridhainya sehingga orang tua itu meridhainya.
Menurut ukuran secara umum, si orang tua tidak sampai akan aniaya kepada anaknya. Kalaulah itu terjadi penaniayaan kepada orang tua kepada anaknya adalah disebakan perbuatan si anak itu sendiri yang menyebabkan marah dan aniayanya orang tua kepada anaknya. Didalam kasus demikian seandainya si orang tua marah kepada anaknya dan berbuat aniaya sehingga ia tiada ridha kepada anaknya, Allah pun tidak meridhai si anak tersebut lantaran orang tua.


3. Berkata halus dan mulia kepada ibu dan ayah
Segala sikap orang tua terutama ibu memberikan refleksi yang kuat terhadap sikap si anak. Dalam hal berkata pun demikian. Apabila si ibu sering menggunakan kata-kata halus kepada anaknya, si anak pun akan berkata halus. Kalau si ibu atau ayah sering mempergunakan kata-kata yang kasar, si anakpun akan mempergunakan kata-kata kasar, sesuai yang digunakan oleh ibu dan ayahnya. Sebab si anak mempunyai insting meniru yang lebih mudah ditiru adalah orang yang terdekat dengannya, yaitu orang tua, terutama ibunya. Agar anak berlaku lemah lembut dan sopan kepada orang tuanya, harus dididik dan diberi contoh sehari-hari oleh orang tuanya bagaimana sianak berbuat, bersikap, dan berbicara. Kewajiban anak kepada orang tuanya menurut ajaran islam harus berbicara sopan, lemah-lembut dan mempergunakan kata-kata mulia.
4. Berbuat baik kepada ibu dan ayah yang sudah meninggal dunia
Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ibu dan ayahnya yang sudah tiada. Dalam hal ini menurut tuntunan ajaran islam sebagaimana yang disiarkan oleh Rasulullah dari Abu usaid :
Artinya : Abu usaid berkata:”kami pernah berada pada suatu majelis bersama nabi, seorang bertanya kepada rasulullah: wahai rasulullah, apakah ada sisa kebajikan setelah keduanya meninggal dunia yang aku untuk berbuat sesuatu kebaikan kepada kedua orang tuaku. “rasulullah bersabda: ”ya, ada empat hal :mendoakan dan memintakan ampun untuk keduanya, menempati / melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman kedua orang tua, dan bersilaturrahim yang engkau tiada mendapatkan kasih sayang kecuali karena kedua orang tua.
Hadist ini menunjukkan cara kita berbuat baik kepada ibu dan ayah kita, apabila beliau-beliau itu sudah tiada yaitu:[3]
a)       Mendo’akan ayah ibu yang telah tiada itu dan meminta ampun kepada allah dari segala dosa orang tua kita.
b)       Menepati janji kedua ibu bapak. Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji kepada seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji tersebut. Umpamanya beliau akan naik haji, yang belum sampai melaksanakannya. Maka kewajiban anaknya menunaikan haji orang tua tersebut.
c)       Memuliakan teman-teman kedua orang tua. Diwaktu hidupnya ibu atau ayah mempunyai teman akrab, ibu atau ayah saling tolong-menolong dengan temannya dalam bermasyarakat. Maka untuk berbuat kebajikan kepada kedua orang tua kita yang telah tiada, selain tersebut di atas, kita harus memuliakan teman ayah dan ibu semasa ia masih hidup.
d)       Bersilalaturrahmi kepada orang yang kita mempunyai hubungan karena kedua orang tua. Maka terhadap orang yang dipertemukan oleh ayah atau ibu sewaktu masih hidup, maka hal itu termasuk berbuat baik kepada ibu dan bapak kita yang sudah meninggal dunia.
e)       Menziarahi kubur mereka. Ziarah kubur disyari’atkan untuk mengingatkan kepada hari kematian dan pertanggung jawaban di akhirat. Seorang anak sangat dianjurkan menziarahi kuburan orang tuanya sebagai wujud kebaktiannya setelah mereka wafat.
Tetapi bagaimana jikalau kita ingin berbuat baik kepada ibu dan ayah serta patuh terhadapnya, terkadang  perintah yang di berikannya tidak sesuai dengan ketentuan islam. Adapun cara menghadapi perintah kedua orang tua yang bertentangan dengan ajaran islam:
a)       Jika suatu saat kamu disuruh berbohong oleh ibu atau ayah, sebaiknya katakan kepada keduanya bahwasanya Allah melihat kita.
b)       Jangan sekali-kali membantah perintah orang tua dengan nada kesal dan ngotot, sebab tidak akan mambuahkan hasil. Akan tetapi hadapi dengan tenang dan penuh keyakinan dan percaya diri.
c)       Ayah dan ibu itu manusia biasa yang tak luput dari kesalaha dan kekurangan. Jangan posisikan kedua orang tua seperti nabi yang tak pernah berbuat salah. Maafkan mereka, bila kita anggap cara dan perintah orang tua bertentangan dari hati nurani atau nilai-nilai yang kamu yakini kebenarannya.
  1. Pentingnya Berbakti Terhadap Kedua Orang Tua
 Ada setumpuk bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua dalam wacana Islam adalah persoalan utama, dalm jejeran hukum-hukum yang terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah cukup menegaskan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya, demikian juga Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam dalam banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti tersebut adalah sebagai berikut:Allah Subhanahu Wata’ala menggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah berbuat baik kepada orang tua:
1.“Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
 Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

2. Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun mereka kafir
“Kalau mereka berupaya mengajakmu berbuat kemusyrikan yang jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu, jangan turuti, namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.” (Luqmaan : 15)
bÎ)ur š#yyg»y_ #n?tã br& šÍô±è@ Î1 $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ Ÿxsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur Ÿ@Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ  
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat di atas menunjukkan diharuskannya memelihara hubungan baik dengan orang tua, meskipun dia kafir. Yakni dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..”
3.Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad.
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam, Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
4.Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga.
Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim)
Beliau juga pernah bersabda:
“Orang tua adalah ‘pintu pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak mau, silakan untuk tidak memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni pintu terbaik.
5.Keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala, berada di balik keridhaan orang tua.
“Keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala bergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua.”
6.Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa.
Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam  sambil mengadu, “Wahai Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?” Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.”
Dalam pengertian yang ‘lebih kuat’, riwayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu, dapat membantu proses taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti kepada orang tua adalah amal ibadah yang paling utama.
Perlu ditegaskan kembali, bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul walidain memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna kebaikan tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu sendiripun bukanlah balasan yang setara untuk dapat mengimbangi kebaikan orang tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai orang yang bersyukur.
Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.”
Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tiga bentuk kewajiban:
Pertama : Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat.
Kedua  : Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua.
Ketiga : Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan.
Seorang Muslim berkeyakinan terhadap adanya hak dan kewajiban menghormati, menaati, dan berbuat baik terhadap kedua orang tua yang bukan hanya keduanya merupakan faktor penyebab keberadaannya, atau karena keduanya telah terlebih dahulu berbuat kebajikan kepadanya sehingga dia wajib membalas budi yang setara terhadap mereka, tetapi karena Allah sendiri mewajibkan kepada seorang anak untuk berbuat kebajikan kepada kedua-duanya sampai-sampai Allah menyangkut-pautkan hal tersebut dengan kewajiban beribadah hanya kepada-Nya. Dia berfirman :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Al-Isra: 23-24)
Ini adalah perintah untuk mengesakan Sesembahan, setelah sebelumnya disampaikan larangan syirik. Ini adalah perintah yang diungkapkan dengan kata qadha yang artinya menakdirkan. Jadi, ini adalah perintah pasti, sepasti qadha Allah. Kata qadha memberi kesan penegasan terhadap perintah, selain makna pembatasan yang ditunjukkan oleh kalimat larangan yang disusul dengan pengecualian: “Supaya kamu jangan menyembah selain Dia…” Dari suasana ungkapan ini tampak jelas naungan penegasan dan pemantapan.
Jadi, setelah fondasi diletakkan dan dasar-dasar didirikan, maka disusul kemudian dengan tugas-tugas individu dan sosial. Tugas-tugas tersebut memperoleh sokongan dari keyakinan di dalam hati tentang Allah yang Maha Esa. Ia menyatukan antara motivasi dan tujuan dari tugas dan perbuatan.
Perekat pertama sesudah perekat akidah adalah perekat keluarga. Dari sini, konteks ayat mengaitkan birrul walidain (bakti kepada kedua orangtua) dengan ibadah Allah, sebagai pernyataan terhadap nilai bakti tersebut di sisi Allah:
Setelah mempelajari iman dan kaitannya dengan etika-etika sosial yang darinya lahir takaful ijtima’I (kerjasama dalam bermasyarakat), saat ini kita akan memasuki ruang yang paling spesifik dalam lingkaran interaksi sosial, yaitu Birrul walidain (bakti kepada orang tua).
Bila seorang muslim menyadari hak kedua orang tuanya dan melakukannya secara sempurna sebagaii wujud dari ketaatan terhadap Allah sebagai pelaksanaan terhadap petunjuk-Nya, maka sesungguhnya Allah juga mewajibkan kepadanya untuk bertindak sopan santun terhadap kedua orang tua dengan etika berikut :[4]
1. Menaati keduanya-duanya dalam segala perintah dan larangannya dalam hal yang tidak merupakan maksiat kepada Allah dan dalam hal yang tidak bertentangan  dengan syari’at-Nya karena menaati makhluk dalam perbuatan maksiat kepada Allah tidaklah dibenarkan.
Hal ini berlandaskan firman Allah :
bÎ)ur š#yyg»y_ #n?tã br& šÍô±è@ Î1 $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ Ÿxsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur Ÿ@Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ  
15. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”(Luqman : 15)
2. Menjunjung dan menghormati kedua-duanya, merendahkan diri dan memuliakan kedua-duanya dengan ungkapan dan perbuatan, tidak boleh menghardik kedua-duanya, tidak boleh berbicara lebih keras dari suaranya, dilarang berjalan di depan mereka, dilarang mempengaruhi kedua-duanya, baik istri maupun anak laki-laki, dilarang memanggil dengan menyebut namanya, tetapi panggillah dengan panggilan “wahai ayahku, wahai ibuku” juga dilarang bepergian selain atas izin dan ridanya.
3. Berbuat baik kepadanya semampunya seperti memberi makan, pakaian, pengobatan, menjaganyanya dari penyakit, dan berkorban dalam rangka mmembela kedua-duanya.
4. Bersilaturrahmi kepada orang yang tidak punya hubungan silaturahmi selain lantaran kedua-duanya, mendo’akan dan memohon ampunan bagi kedua-duanya, memenuhi janjinya, dan menghormati sahabatnya.
“Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
Dengan ungkapan-ungkapan yang lembut dan gambaran-gambaran yang inspiratif inilah Al-Qur’an Al-Karim menggugah emosi kebajikan dan kasih sayang di dahati anak-anak.
Hal itu karena kehidupan itu terdorong di jalannya oleh orang-orang yang masih hidup, mengarahkan perhatian mereka yang kuat ke arah depan. Yaitu kepada keluarga, kepada generasi baru, generasi masa depan. Jarang sekali kehidupan mengarahkan perhatian mereka ke arah belakang, ke arah orang tua, ke arah kehidupan masa silam kepada generasi yang telah pergi! Dari sini, anak-anak perlu digugah emosinya dengan kuat agar mereka menoleh ke belakang, ke arah ayah dan ibu mereka.
Sebelum masuk ke inti pembahasan, ada catatan penting yang harus menjadi perhatian bersama dalam pembahasan birrul walidain, ialah Islam tidak hanya menyeru sang anak untuk melaksanakan birrul walidain, namun Islam juga menyeru kepada para walidain (orang tua) untuk mendidik anaknya dengan baik, terkhusus dalam ketaan kepada Allah dan Rasulul-Nya. Karena hal itu adalah modal dasar bagi seorang anak untuk akhirnya menjadi anak sholih yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Dengan demikian, akan terjalin kerjasama dalam menjalani hubungan keluarga sebagaimana dalam bermasyarakat.
Orang tua hendaknya mengajarkan dan mendidik anaknya agar selalu taat kepada kedua kedua orang tuanya, gurunya serta tanggung jawab atas pendidikannya. Dan agar ia menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua darinya. Baik yang termasuk anggota keluarga ataupun bukan. Agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersenda gurau di hadapan mereka.[5]
Gaya bahasa yang digunakan al-Quran dalam memerintahkan sikap bakti kepada orang tua ialah datang serangkai dengan perintah tauhid atau ke-imanan, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia“ . Dalam artian setelah manusia telah mengikrakan ke-imanannya kepada Allah, maka manusia memiliki tanggungjawab kedua, yaitu “Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”.
Jika kita bertanya, mengapa perintah birrul walidain begitu urgen sehingga ia datang setelah proses penghambaan kepada Allah  Subhanahu Wata’ala?? Al-Quran Kembali menjawab:


حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(Al-Ahqaf: 15) 
Ketika orangtua berumur muda, kekuatan fisik masih mengiringinya, sehingga ia bertanggungjawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Namuun saat mereka berumur tua renta, dan anaknya sudah tumbuh dewasa berbaliklah roda tanggungjawab itu. 
Para pembantu mungkin mampu merawatnya, menunjukkan sesuatu yang tidak lagi bisa dilihatnya, mengambilkan sesuatu yang tidak lagi bisa diambilnya dan mengiringnya dari suatu temnpat ke tempat lain. Namun ada satu hal yang tidak pernah bisa diberikan oleh pembantu, ialah cinta dan kasih sayang. Hanya dari sang buah hatilah rasa cinta dan kasih sayang dapat diraihnya. 
Kedua orang tua secara fitrah akan terdorong untuk mengayomi anak-anaknya, mengorbankan segala hal, termasuk diri sendiri. Seperti halnya tunas hijau menghisap setiap nutrisi dalam benih hingga hancur luluh, seperti anak burung yang menghisap setiap nutrisi yang ada dalam telor hingga tinggal cangkangnya, demikian pula anak-anak menghisap seluruh potensi, kesehatan, tenaga dan perhatian dari kedua orang tua, hingga ia menjadi orang tua yang lemah jika memang diberi usia yang panjang. Meski demikian, keduanya tetap merasa bahagia!
Adapun anak-anak, secepatnya mereka melupakan ini semua, dan terdorong oleh peran mereka ke arah depan. Kepada istri dan keluarga. Demikianlah kehidupan itu terdorong. Dari sini, orang tua tidak butuh nasihat untuk berbuat baik kepada anak-anak. Yang perlu digugah emosinya dengan kuat adalah anak-anak, agar mereka mengingat kewajiban terhadap generasi yang telah menghabiskan seluruh madunya hingga kering kerontang!
Dari sinilah muncul perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dalam bentuk qadha dari Allah yang mengandung arti perintah yang tegas, setelah perintah yang tegas untuk menyembah Allah. Berbakti kepada ibu bapak adalah termasuk akhlak mulia, karena keduanya memiliki hak yang sangat besar pada anak-anaknya, setelah hak Allah Swt.  Allah berfirman yang artinya : “ Dan beribadahlah kepada Allah, janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada ibu bapa”. Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua adalah fardu ‘ain menurut kesepakatan kaum muslimin, bukan sekedar pelengkap  yang bersifat anjuran semata.[6]
Usia lanjut itu memiliki kesan tersendiri. Kondisi lemah di usia lanjut juga memiliki insprasinya sendiri. Kata عندك yang artinya “di sisimu” menggambarkan makna mencari perlindungan dan pengayoman dalam kondisi lanjut usia dan lemah. “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka…” Ini adalah tingkatan pertama di antara tingkatan-tingkatan pengayoman dan adab, yaitu seorang anak tidak boleh mengucapkan kata-kata yang menunjukkan kekesahan dan kejengkelan, serta kata-kata yang mengesankan penghinaan dan etika yang tidak baik. “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Ini adalah tingkatan yang paling tinggi, yaitu berbicara kepada orang tua dengan hormat dan memuliakan.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
Artinya :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…”
Di sini ungkapan melembut dan melunak, hingga sampai ke makhluk hati yang paling dalam. Itulah kasih sayang yang sangat lembut, sehingga seolah-olah ia adalah sikap merendah, tidak mengangkat pandangan dan tidak menolak perintah. Dan seolah-olah sikap merendah itu punya sayap yang dikuncupkannya sebagai tanda kedamaian dan kepasrahan .
Itulah ingatan yang sarat kasih sayang. Ingatan akan masa kecil yang lemah, dipelihara oleh kedua orang tua. Dan keduanya hari ini sama seperti kita di masa kanak-kanak, lemah dan membutuhkan penjagaan dan kasih sayang. Itulah tawajuh kepada Allah agar Dia merahmati keduanya, karena rahmat Allah itu lebih luas dan penjagaan Allah lebih menyeluruh. Allah lebih mampu untuk membalas keduanya atas darah dan hati yang mereka korbankan. Sesuat yang tidak bisa dibalas oleh anak-anak.
Belaian anak saat orang tua telah berumur lanjut ialah kenikmatan yang tak terhingga. Wajarlah kiranya al-Quran memberikan pengkhususan dalam birrul walidain ini saat kondisi mereka tua renta, yaitu:[7]
 1. Jangan mengatakan kata uffin (ah).
 2. Jangan membentak.
 3. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
 4. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan.
 5. Dan do’akanlah mereka.
Kata uffin dalam bahsa Arab berati ar-rafdu (menolak). Jadi janganlah kita mengatakan kata-kata yang mengandung makna menolak, terkhusus dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena pada umur lanjut inilah kebutuhan mereka memuncak, hampir pada setiap hitungan jam mereka membutuhkan kehadiran kita disisinya.
Baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam Al Hadits, durhaka kepada orang tua dikatagorikan termasuk dosa besar. Dalam Al-Qur’an jelas ada ancaman siksa. Dan tidak sedikit hadits yang menjelaskan tentang  siksanya anak durhaka beserta kategorinya sebagai dosa besar, yang sebanding atau di bawah syirik kepada Tuhan Allah dan membunuh orang tanpa haq.[8] Antara lain hadits-hadits yang menyebutkan tentang hal itu ialah sabda Rasulullah saw yang artinya : “ Sebesar-besar (dari) dosa besar ialah menyekutukan Allah, membunuh manusia, durhaka kepada ibu bapak, dan menjadi saksi palsu.” (H. R. Bukhari).
Sedemikian pentingnya perintah birrul walidain ini, sehingga keridhoan mereka dapat menghantarkan sang anak kedalam surga-Nya. Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang menajalani pagi harinya dalam keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Barang siapa yang menjalani sore keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Dan barang siapa menjalani pagi harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka. Dan barang siapa menjalani sore harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka ”.(HR. Darul Qutni dan Baihaqi)
Dengan demikian merugilah para anak yang hidup bersama orang tuanya di saat tua renta namun ia tidak bisa meraih surga, karena tidak bisa berbakti kepada keduanya. Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam mengatakan tentang ihwal mereka :
عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِالْجَنَّةَ ».
“Dari Suhaili, dari ayahnya dan dari Abu Hurairah. Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda : ”Merugilah ia (sampai 3 kali). Para Shahabat bertanya : ”siapa ya Rasulullah ? Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda :“Merugilah seseorang yang hidup bersama kedua orang tuanya atau salah satunya di saat mereka tua renta, namun ia tidak masuk surga” (HR. Muslim).
Terkait cara berbakti kepada orang tua, memulai dengan perkataan yang baik. Kemudian diiringi dengan meringankan apa-apa yang menjadi bebannya. Dan bakti yang tertinggi yang tak pernah dibatasi oleh tempat dan waktu ialah DOA. Do’a adalah bentuk bakti anak kepada orang tua seumur hidup-nya. Do’alah satu-satunya cara yang diajarkan Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bagi anak-anak yang pernah menyakiti orangtuanya namun mereka meninggal sebelum ia memohon maaf kepadanya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambersabda : “Bahwasanya akan ada seorang hamba pada hari kiamat nanti yang diangkat derajatnya, kemudian ia berkata “Wahai tuhanku dari mana aku mendapatkan (derajat yang tinggi) ini??. Maka dikatakanlah kepadanya “Ini adalah dari istighfar (doa ampunan) anakamu untukmu” (HR.Baihaqi)
Adapun doa yang diajarkan, ialah sebagaimana termaktub dalam al-Quran :
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرً
"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Al-Isra’: 24).
Itulah ingatan yang sarat kasih sayang. Ingatan akan masa kecil yang lemah, dipelihara oleh kedua orang tua. Dan keduanya hari ini sama seperti kita di masa kanak-kanak; lemah dan membutuhkan penjagaan dan kasih sayang. Itulah tawajuh kepada Allah agar  Dia merahmati keduanya, karena rahmat Allah itu lebih luas dan penjagaan Allah lebih menyeluruh. Allah Subhanahu Wata’ala lebih mampu untuk membalas keduanya atas darah dan hati yang mereka korbankan. Sesuatu yang tidak bisa dibalas oleh anak-anak.
Al Hafizh Abu Bakar Al Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya dari Buraidah dari ayahnya:
“Seorang laki-laki sedang thawaf sambil menggendong ibunya. Ia membawa ibunya thawaf. Lalu ia bertanya kepada NabiSallallahu ’Alaihi Wa Sallam, “Apakah aku telah menunaikan haknya?” Nabi Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam menjawab, “Tidak, meskipun untuk satu tarikan nafas kesakitan saat melahirkan.”
Dalam ayat lain Al-Quran mengajar doa yang begitu indah, ialah doa yang mencakup bagi kita, orang tua dan keturunan kita :
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Ya Allah.., tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Al-Ahqaf : 15). 

  1.  Ihsan kepada Orang Tua
“… dan berbuat Ihsan kepada kedua orangtua.” (QS Al-Isra’ (17) : 23) 
Penjelasan :

1.     Kalimat wabil-waalidaini ihsaanan pada ayat tersebut bermakna :
أى وَقَضَىأَنْ تُحْسِنُوْا بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا كَمَا قَضَى بِعِبَادَتِهِ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ
“Yakni dan Allah  telah memerintahkan agar kalian berbuat baik kepada kedua orangtua sebagaimana Allah memerintahkan beribadah kepada Allah saja dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”

2.        Imam Al-Qurthuby mengemukakan :

اَلْإِحْسَانُ إِلَى الْوَالِدَيْنِ : بِرُّهُمَا وَحِفْظُهُمَا وَصِيَانَتُهُمَا وَامْتِثَالُ أَمْرِهِمَا وَإِزَالَةُ الرِّقِّ عَنْهُمَا وَتَرْكُ السُّلْطَةِ عَلَيْهِمَا
 Ihsan kepada kedua orangtua dengan cara :
a)      Berlaku baik kepada orangtua,
b)      Memelihara keduanya,
c)      Menjaga keduanya,
d)      Melaksanakan perintahnya,
e)      Menghilangkan kemadharatan darinya,
f)        Meninggalkan penguasaan kepadanya.

3.     Dalam kitab Tanbiihul-Ghaafiliin, Abu Laits Tsamarqandi  mengemukakan tentang hal-hal yang kita lakukan sebagai wujud ihsan anak pada orangtuanya, yaitu :
v     إِذَا احْتَاجَ اَحَدُهُمَا إِلَى الطَّعَامِ أَطْعَمَهُ
Apabila kedua orangtua membutuhkan makanan, ia (anak) memberinya,
v     إِذَا احْتَاجَ إِلَى الْكِسْوَةِ كَسَاهُ اِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ
Apabila ia membutuhkan pakaian, ia (anak) memberinya jika mampu,

v     إِذَا احْتَاجَ اَحَدُهُمَا إِلَى خِدْمَتِهِ خَدَمَهُ
Apabila kedua orangtua memerlukan bantuan apa saja, ia membantunya,
v     إِذَا دَعَاهُ اَجَابَهُ وَحَضَرَهُ
Apabila ia memanggilnya, ia memenuhi panggilannya,
v     إِذَا أَمَرَهُ بِأَمْرٍ أَطَاعَهُ مَالَمْ يَأْمُرْ بِالْمَعْصِيَةِ وَالْغِيْبَةِ
Apabila orangtua memerintahnya (anak) untuk berbuat sesuatu ia mentaatinya selama tidak memerintah ma’shiyat dan ghibah,
v     اَنْ يَتَكَلَّمَ مَعَهُ بِاللَّيِّنِ وَلَايَتَكَلَّمَ مَعَهُ بِالْكَلَامِ الْغَلِيْظِ
Berbicara dengan orangtua dengan suara yang lembut dan tidak berbicara dengan orangtua dengan kata-kata yang kasar,
v     لَايَدْعُوْهُ بِاسْمِهِ
Tidak boleh memanggil orangtua dengan namanya,
v     اَنْ يَمْشِيَ خَلْفَهُ
Berjalan di belakangnya,
v     اَنْ يَرْضَى لَهُ مَايَرْضَى لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُ مَايَكْرَهُ لِنَفْسِهِ
Ia menyukai baginya apa yang ia sukai untuk dirinya dan ia membenci baginya apa yang ia benci untuk dirinya,
v     اَنْ يَدْعُوَ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ كُلَّمَا يَدْعُوْ لِنَفْسِهِ
Memohon ampunan untuk keduanya setiap kali ia memohon ampunan untuk dirinya,
v     عِيَادَتُهُمَا إِذَا مَرِضَا وَمُوَارَاتُهُمَا فِى الْقَبْرِ إِذَا مَاتَ
Menjenguknya apabila ia sakit serta menguburnya ketika orangtua meninggal.
v     عَنْ عَلِيٍّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اَحْزَنَ وَالِدَيْهِ فَقَدْ عَقَّهُمَا (رواه البخارى)
Dari Ali, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw :”Barangsiapa yang membuat susah orangtuanya berarti ia telah menyakiti kedunya.” (HR Bukhari)
v     عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ (رواه البخارى)
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw :”Membuat kedua orangtua menangis termasuk perbuatan menyakiti orangtua.” (HR Bukhari)
v     عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلَاثَةٌ لَايَنْفَعُ مَعَهُنَّ عَمَلٌ : اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَالْفِرَارَ مِنَ الزَّحْفِ (رواه الطبرانى)
Dari Tsauban, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw :”Ada tiga macam yang dapat membatalkan amal kebajikan yaitu : menyekutukan Q, menyakiti kedua orangtua, dan lari dari peperangan.” (HR Thabrani)
v     عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَمْسٌ يُعَجِّلُ اللهُ لِصَاحِبِهَا الْعُقُوْبَةَ : اَلْبَغْيُ وَالْغَدْرُ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَمَعْرُوْفٌ لَايَشْكُرُ (رواه ابن لاعل)
Dari Zaed bin Tsabit, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw :”Ada lima perkara yang disegerakan oleh Q  siksaan bagi pelakunya : zina, khianat, menyakiti orangtua, memutuskan tali silaturahim, dan tidak mensyukuri kebajikan.” (HR Ibnu Laa’al)
v     عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَلْعُوْنٌ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ, مَلْعُوْنٌ مَنْ عَقَّ وَالِدَيْهِ (رواه الحاكم)
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw :”Terkutuklah orang yang menyembelih bukan karena Q, terkutuklah orang yang menyakiti orangtuanya.” (HR Hakim)
v     عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ الْعَاصِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلَاثَةٌ حَرَّمَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ : مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوْسُ الَّذِيْ يُقِرُّ الْخُبْثَ فِى أَهْلِهِ (رواه أحمد والنسائى والحاكم)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw : “Tiga golongan yang Q  taabaaraka wa ta’aala mengharamkan surga atas mereka : pecandu khamr, orang yang menyakiti hati orangtua, dan dayyuus yang membiarkan keluarganya berbuat dosa.” (HR Ahmad, Nasa-i dan Hakim)
v     عَنْ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلَاثَةٌ لَعَنَهُمُ اللهُ تَعَالَى : رَجُلٌ رَغِبَ عَنْ وَالِدَيْهِ وَرَجُلٌ يَسْعَى بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ يُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا ثُمَّ تَخَلَّفَ عَلَيْهَا مِنْ بَعْدِهِ وَرَجُلٌ سَعَى بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِالْأَحَادِيْثِ لِيَتَبَاغَضُوْا وَيَتَحَاسَدُوْا (رواه الديلمى)
Dari Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw :”Tiga golongan yang dilaknat oleh Q ta’ala : Seseorang yang membenci orangtuanya, seseorang yang berupaya memceraikan sepasang suami istri, kemudian setelah istri itu dicerai, ia menggantikannya sebagai suaminya, dan seseorang yang berupaya agar orang-orang yang beriman saling membenci dan saling mendengki dengan hasutan-hasutannya.” (HR Dailamy)
v     عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مِنَ الْعِبَادِ عِبَادٌ لَايُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَايَنْظُرُ اِلَيْهِمْ وَلَايُزَكِّيْهِمْ وَلَايُطَهِّرُهُمْ, قِيْلَ : مَنْ أُولئِكَ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : اَلْمُتَبَرِّئُ مِنْ وَالِدَيْهِ وَرَجُلٌ اَنْعَمَ عَلَيْهِ قَوْمٌ فَكَفَرَ بَيْنَهُمْ وَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ (رواه أحمد والبيهقى)
Dari Sahl bin Mu’adz dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw :”Di antara hamba-hamba Q  terdapat orang-orang yang kelak di hari kiamat tidak diajak bicara oleh  Q , tidak dilihat, tidak disucikan dan tidak dibersihkan oleh Q . Ada yang bertanya :”Siapakah mereka itu yaa Rasulallah ? Rasulullah menjawab : “Orang yang berlepas diri dari kewajiban terhadap orangtuanya, dan seseorang yang diberi karunia oleh suatu kaum kemudian ia mengingkarinya dan berlepas diri darinya.” (HR Ahmad dan Baihaqi)
Islam menganjurkan kepada kita untuk berbuat ihsan kepada orang tua, dengan cara:[9]
  1. Tidak bertindak kasar kepada orang tua Janganlah menyakiti hati kedua orang tua kalian dengan cara bertindak kasar, seperti: memukul atau membentak.
  2. Selalu menuruti keinginan orang tua asalkan tidak bertentangan dengan agama
    Turutilah permintaan kedua orang tua kalian selagi mampu dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.
  3. Berbicara dengan kata-kata yang mulia kepada orang tua. Gunakanlah kata-kata yang sopan atau bahasa yang halus untuk berbicara dengan orang tua agar tidak menyinggung perasaan mereka.
  4. Merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan mereka. Hormati kedua orang tua kalian, lebih dari kalian menghormati diri sendiri
  5. Berdoa kepada mereka.
Description: doa6.jpg
Artinya: Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.
Berlaku Ihsan kepada Orang Tua (Birrul Walidain).
Makna "Al Birr" :[10]
Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam (artinya) : "Al Birr adalah baiknya akhlaq". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794). Al Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al ‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq. "Al Birr adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al ‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya." (Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)
Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan." (QS. Al Isra’ : 24). Yaitu: "Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun". (Ad Darul Mantsur 5/259)
Berkata Imam Al Qurtubi mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi atau  menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan). (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238).
Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mudah-mudahan Allah merahmatinya: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir "Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali". (Ghadzaul Al Baab 1/382).
Hukum Birrul Walidain :[11]
 Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.
Berkata Ibnu Hazm, mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Berkat beliau dalam kitab Al Adabul Kubra: Berkata Al Qodli Iyyad: "Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram." (Ghdzaul Al Baab 1/382).
Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) yang mereka gunakan banyak sekali, diantaranya:
1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak". (An Nisa’ : 36). Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).
2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (QS. Al Isra’: 23). Adapun makna ( qadhoo ) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: "Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218).
3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman : 14).
Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua "Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) : "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu", Berkata beliau. "Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu." (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).
Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda (artinya) : "Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua" (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).
4. Hadits Al Mughirah bin Syu’bah - mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda (artinya): "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757).
Keutamaan Birrul Walidain :[12]
 Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: "Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam "Berbuat baik kepada kedua orang tua". Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Berjihad di jalan Allah". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
Kedua : Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….", hingga akhir ayat berikutnya : "Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka." (QS. Al Ahqaf 15-16)
Diriwayatkan oleh ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Apakah Ibumu masih hidup?", berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Kalau bibimu masih ada?", dia berkata : "Ya" . Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Berbuat baiklah padanya". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406).
Ketiga : Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Celakalah dia, celakalah dia", Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah? Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).
Dari Mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata : "Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Apakah kamu masih memiliki Ibu?". Berkata dia : "Ya". Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya". (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)
Keempat : Merupakan Sebab keridhoan Allah Sebagaiman hadits yang terdahulu "Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua".
Kelima : Merupakan Sebab Bertambahnya Umur Diantarnya hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim".
Keenam : Merupakan Sebab Barokahnya Rizki Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.
Berbakti kepada orang tua merupakan salah satu materi yang disampaikan oleh Lukman kepada Anaknya sebagaimana diabadikan di dalam Al-Qur’an.[13]
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ  
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q. S. Luqman : 14).
  1. Hubungan Aqidah Dengan Rasa Cinta Kepada Orang Tua.
Hubungan aqidah dengan rasa cinta kepada orang tua sangatlah erat karena di dalam Al-Qur’an Allah Swt menerangkan bahwa perintah untuk berbakti kepada orang tua merupakan perintah-Nya yang kedua setelah perintah untuk tidak menyekutukan-Nya. Bahkan berbuat durhaka merupakan dosa besar setelah dosa syirik. Oleh karena itu, aqidah tidak dapat dipisahkan dengan rasa cinta kita kepada orang tua, ketika kita memiliki aqidah yang kuat maka rasa cinta kepada orang tua pun semakin bertambah.
Oleh karena itu sudah sepatutnya kita berbakti kepada orang tua karena begitu besar pengorbanan orang tua terhadap kita mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui dan menafkahi kita serta merawat dan mendidik diri kita hingga dewasa.










BAB III
PENUTUP
Simpulan
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi) yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Akhlak adalah “sikap hati yang mudah mendorong anggota tubuh untuk berbuat sesuatu”. Adapun Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, yang disebut akhlak itu ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itulah yang dinamakan akhlak.
Dengan demikian pendidikan aqidah akhlak adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengimani Allah SWT dan merealisasikannya dalam perilaku akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan Qur’an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.
Akhlak anak terhadap orang tua yang masih hidup diantaranya jangan mengatakan kata uffin (ah), jangan membentak, ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan, dan do’akanlah mereka.
Akhlak anak terhadap orang tua yang sudah wafat diantaranya mendo’akan ayah ibu yang telah tiada itu dan meminta ampun kepada Allah dari segala dosa orang tua kita, menepati janji kedua ibu bapak, memuliakan teman-teman kedua orang tua, bersilalaturrahmi kepada orang yang kita mempunyai hubungan karena kedua orang tua dan menziarahi kubur mereka.
Hubungan aqidah dengan rasa cinta kepada orang tua sangatlah erat karena di dalam Al-Qur’an Allah Swt menerangkan bahwa perintah untuk berbakti kepada orang tua merupakan perintah-Nya yang kedua setelah perintah untuk tidak menyekutukan-Nya.
Oleh karena itu sudah sepatutnya kita berbakti kepada orang tua karena begitu besar pengorbanan orang tua terhadap kita mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui dan menafkahi kita serta merawat dan mendidik diri kita hingga dewasa.


















DAFTAR PUSTAKA
El-Jazairi, Abu Bakar Jabir. 1993. Pola Hidup Muslim (Minhajul  Muslim) Etika. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2000. Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia. Bandung : Karisma.
Asy Syiddiy, Adil & Al-Mazyad, Ahmad, Akhlak Pribadi Muslmi. Diterjemahkan  di Bawah Pengawasan Penerbit : Daar Al-Wathan.
Fuady, Noor & Muradi, Ahmad. 2009. Pendidikan Akidah Berbasis Keluarg. Banjarmasin : Antasari Press. Ritonga, Rahman. 2005. Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia. Surabaya: Amelia.
Hasyim, Umar. 1995. Anak Shaleh. Surabaya : PT. Bina Ilmu.
http://wajarsana.wordpress.com/2010/04/14/ihsan-kepada-orang-tua/






[3] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia, (Surabaya: Amelia, 2005) hal. 51-62

[4] Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul  Muslim) Etika, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1993) hal. 94-95.
[5] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, (Bandung : Karisma, 2000) hal. 110.
[6] Dr. Adil Asy Syiddiy dan Dr. Ahmad Al-Mazyad, Akhlak Pribadi Muslim, (Diterjemahkan  di Bawah Pengawasan Penerbit : Daar Al-Wathan) hal. 8.
[7] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia, (Surabaya: Amelia, 2005) hal. 47-50.
[8] Umar Hasyim, Anak Shaleh (Surabaya : PT. Bina Ilmu, thn. 1995) hal. 46-47
[9] http://wajarsana.wordpress.com/2010/04/14/ihsan-kepada-orang-tua/
[13] M. Noor Fuady, M. Ag & Ahmad Muradi, M.Ag, Pendidikan Akidah Berbasis Keluarga, (Banjarmasin : Antasari Press,  2009) hal. 42.

0 komentar:

Posting Komentar