Tugas Terstruktur Dosen Pengasuh
Bahasa Indonesia 2 Noor Alfu Laila, M. Pd. I
Membaca dan Menulis Cerita
Disusun Oleh:
Rahmawati NIM. 0901290618
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PGMI
BANJARMASIN
2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufiq dan Hidayah serta Inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat mengenal kebenaran dan mengikutinya agar kita semua terhindar dari celaan dan siksaan.
Sholawat dan salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Makalah ini disajikan dalam rangka memenuhi tugas terstruktur, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnnya kepada Ibu Noor Alfu Laila Dosen Pengasuh Mata Kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pencerahan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik dalam segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Dan akhirnya semoga makalah ini memberikan manfaat yang lebih bagi penulisnya dan bagi pembaca umumnya.
Banjarmasin, Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………….…..….… i
Kata Pengantar ……………………………………………………………………….…….. ii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………… iii
BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………………………….. 1
BAB II: PEMBAHASAN
A. Mengembangkan Konsep Cerita Siswa …………………………….…….…….. 3
B. Elemen-Elemen Struktur Cerita ……………………………………………..….. 4
C. Mengajarkan kepada Para Siswa Tentang Cerita ………………………..…..… 11
D. Adaptasi untuk Bertemu dengan Kebutuhan Setiap Siswa …………………..... 17
E. Konsep Analisa Evaluasi para Siswa terhadap Cerita-Cerita ……………….… 17
F. Adaptasi Bacaan dan Tulisan Cerita-Cerita ………………………………….... 17
G. Bacaan Cerita-Cerita …………………………………………………………... 18
H. Bacaan yang Aestetik ………………………………………………………...…18
I. Intertekstualitas ……………………………………………………………...… 21
BAB III:PENUTUP
Simpulan ………………………………………………………………………..… 22
Daftar Pustaka ……………….……………………………………………………………... 24
BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa siswa menjadi begitu terlibat dalam cerita karena mereka telah membaca. Ketika mereka sedang membaca mereka terlihat melangkah pada dunia yang lain. Para siswa ini memiliki cerita-cerita favorit yang selalu mereka baca, dan mereka memilih untuk membaca sebagai suatu kegiatan di saat-saat luang. Untuk para siswa yang lain, membaca adalah suatu tugas sebagai sesuatu yang hanya mereka kerjakan ketika mereka harus membacanya.
Salah satu tujuan instruksi membaca adalah untuk menunjukkan kepada para siswa tentang bagaimana menyenangkannya membaca, sehingga mereka akan beralih menjadi pembaca sepanjang masa. Para guru berharap bahwa para siswa akan memilih untuk menentukan satu buku dan membaca satu cerita ketimbang misalnya untuk bermain video game. Setelah kita baca bahasan berikut ini maka berpikirlah tentang pertanyaan ini.
Bagaimana para guru dapat membantu para pelajar (siswa) menjadi pembaca-pembaca sepanjang hayat?
Untuk menjawab pertanyaan di atas marilah kita membaca beberapa pembahasan di bawah ini agar kita nantinya sebagai seorang guru mampu menanamkan pentingnya menjadi pembaca sepanjang hayat.
BAB II
PEMBAHASAN
Cerita-cerita memberikan makna pada pengalaman manusia, dan cerita adalah cara yang ampuh untuk mengetahui dan belajar. Anak-anak pra sekolah mendengarkan anggota-anggota keluarga saat bercerita dan membaca cerita-cerita dengan suara keras, dan mereka telah mengembangkan pemahaman atau konsep tentang cerita pada saat mereka datang ke sekolah. Para siswa menerapkan dan menemukan kembali pengetahuan ini sebagaimana mereka telah membaca dan menulis cerita-cerita selama dalam tingkatan kelas dasar. Banyak dari para pendidik, termasuk Jerome Bruner 1986 merekomendasikan penggunaan cerita-cerita sebagai suatu jalan dalam literatur.
Terkadang para guru menggunakan semua literatur yang mana para siswa membaca dan menulisnya sebagai “cerita-cerita”, tetapi cerita-cerita merupakan suatu bentuk yang menyeluruh. Mereka mempunyai elemen-elemen struktur yang khusus termasuk karakteristik-karakteristik dan alur cerita.
Para siswa menceritakan dan menulis cerita-cerita tentang kejadian-kejadian dalam kehidupan mereka seperti, hari ulang tahun, perjalanan memancing, atau kecelakaan di jalan raya, mengulang kembali cerita-cerita yang sudah familiar.
Cerita-cerita yang telah ditulis oleh para siswa merefleksikan cerita-cerita yang telah mereka baca. De Ford (1981), dan Eckhoff (1983) menemukan bahwa ketika para siswa pada tingkatan pemula membaca cerita-cerita di dalam sebagai dasar teks-teks buku bacaan, cerita-cerita yang mereka tulis merefleksikan secara singkat, meniru gaya bahasa yang sederhana bagi para pembaca, tetapi ketika para siswa membaca cerita-cerita di dalam buku-buku percakapan, tulisan mereka merefleksikan lebih kepada struktur-struktur bahasa yang mudah dipahami dan gaya tulisan pada buku-buku percakapan. Dressel (1990) juga menemukan bahwa kualitas dari tingkatan tulisan yang ke lima adalah tergantung pada kualitas dari cerita-cerita yang mereka baca atau yang telah mereka dengarkan dengan keras kepada orang lain, terlepas dari tingkat membaca siswa.
A. Mengembangkan Konsep Cerita siswa
Anak-anak muda mempunyai basis kesadaran tentang pembuatan cerita. Pengetahuan tentang cerita-cerita disebut dengan suatu konsep tentang cerita. Konsep anak-anak tentang cerita termasuk informasi tentang elemen-elemen atas struktur cerita, seperti karakter-karakter, alur cerita, dan setting/latar sama juga dengan informasi tentang kebiasaan-kebiasaan yang penulis gunakan. Pengetahuan ini biasanya bersifat intuisi, yakni anak-anak tidak menyadari tentang apa yang mereka ketahui. Golden (1984) menggambarkan konsep cerita anak-anak sebagai “suatu representasi mental dalam struktur cerita, secara esensial suatu garis-garis besar atas basis elemen-elemen cerita dan susunan-nya”.
Para peneliti telah mendokumentasikan bahwa konsep cerita anak-anak bermula di periode pra-sekolah, dan bahwa anak-anak seumuran 2 ½ tahun memiliki rasa dasar dari cerita. Anak-anak menangkap konsep bercerita ini secara bertahap, dengan mendengarkan cerita-cerita yang dibacakan pada mereka, dengan membaca cerita sendiri, dan dengan menceritakan dan menulis cerita. Tidaklah mengherankan, bahwa anak-anak yang lebih tua mempunyai pemahaman yang lebih baik dari struktur cerita dibandingkan dengan anak-anak yang lebih muda. Demikian pula, cerita-cerita anak yang lebih tua mengatakan dan menulis semakin lebih kompleks, struktur alur cerita lebih erat terorganisir, dan karakter yang lebih lengkap dikembangkan. Tetapi Applebee (1980) menemukan bahwa saat anak-anak mulai di tingkatan taman kanak-kanak, mereka telah membangun konsep tentang cerita apa, dan harapan-harapan ini menuntun mereka dalam merespon cerita-cerita dan menceritakan cerita-cerita mereka sendiri. Applebee menemukan, sebagai contoh, bahwa anak-anak taman kanak-kanak dapat menerapkan 3 pencipta cerita; “permulaan waktu” untuk memulai sebuah cerita, bentuk lampau dalam menceritakan sebuah cerita. Dan akhiran secara formal, seperti "Tamat" atau "... dan mereka hidup bahagia selamanya."
Konsep cerita para siswa menyumbangkan suatu aturan yang penting di dalam menafsirkan cerita-cerita yang mereka baca (Mandler & Jonhson, 1977; Rumelhart, 1975; Stein & Glenn, 1979), dan hal itu juga penting dalam menulis (Golden, 1984). Para siswa terus mengembangkan pemahaman mereka tentang cerita-cerita melalui pengalaman-pengalaman membaca dan menulis (Golden, Mainers & Lewis, 1992), Sembari mereka merespon dan mengeksplorasi cerita-cerita mereka saat membaca dan menulis, para siswa belajar tentang elemen-elemen dari struktur cerita dan kategori-kategori cerita-cerita. Golden dan rekan-rekannya mengatakan bahwa makna cerita adalah dinamis, berkembang terus menerus dalam pikiran pembaca.
B. Elemen-Elemen Struktur Cerita
Cerita-cerita mempunyai elemen-elemen struktur yang unik yang membedakan mereka dengan bentuk-bentuk tulisan yang lainnya. Dalam kenyataannya, struktur cerita-cerita begitu kompleks, alur cerita, karakter-karakter, setting/latar dan elemen-elemen yang lain saling berinteraksi antar satu dengan lainnya untuk memproduksi sebuah cerita. Para pengarang memanipulasi elemen-elemen tersebut untuk membuat cerita mereka yang komplek dan menarik. Kita akan menfokuskan pada lima elemen dari struktur cerita , yakni plot (alur cerita), karakter, setting, tema dan sudut pandang dan kita kan menggambarkan masing-masing elemen dengan materi-materi buku-buku yang sudah sangat familiar.
1. Plot (alur cerita) adalah serangkaian kejadian-kejadian yang melibatkan karakter-karakter di dalam situasi-situasi konflik. Sebuah alur cerita didasarkan pada tujuan-tujuan satu karakter atau bahkan lebih dan proses-proses yang menyembatani untuk menyukseskan tujuan-tujuan tersebut (Lukens, 1991).
Aspek yang paling dasar dari plot ini adalah bagian dari kejadian-kejadian utama dari sebuah cerita yang terbagi ke dalam tiga bagian; permulaan, pertengahan, dan akhiran. Para siswa pada level yang lebih tinggi mungkin akan mengubah pengenalan istilah menjadi pendahuluan, kelanjutan, dan penyelesaian.
Konflik, adalah ketegangan atau pertentangan antara pasukan di plot, dan hal itu adalah ketertarikan pembaca untuk melanjutkan membaca cerita. Konflik senantiasa terjadi (Lukens, 1991):
a. Antara suatu karakter dan alam.
b. Antara suatu karakter dan masyarakat.
c. Antara karakter-karakter.
d. Dalam suatu karakter itu sendiri.
Plot itu di bangun melalui konflik yang dikenalkan di awal suatu cerita, dikembangkan di tengah dan akhirnya dituntaskan di akhir cerita. Bangunan plot terdiri dari 4 komponen-komponen, yaitu:
a. Sebuah masalah, yang memulai konflik dipresentasikan apa awal sebuah cerita.
b. Hambatan. Di tengah cerita, karakter wajah hambatan dalam upaya untuk memecahkan masalah.
c. Titik tinggi. Titik tinggi dalam aksi terjadi ketika masalah akan segera dipecahkan. Titik tinggi ini berbeda saat di tengah dan di akhir suatu cerita.
d. Solusi Masalah itu diselesaikan dan hambatan yang diatasi pada akhir cerita.
Pengertian Plot menurut beberapa ahli : 1. Menurut Virgil Scoh, 1966 : 2. Plot adalah prinsip yang isensial dalam cerita.
2. Menurut Morjorie Boulton, 1975 : 45. Plot adalah pengorganisasian dalam novel atau penentu struktur novel.
3. Menurut Dick Hartoko, 1948:149. Plot sebagai alur cerita yang dibuat oleh pembaca yang berupa deretan peristiwa secara kronologis, saling berkaitan dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami pelaku cerita. Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan alur/plot adalah suatu cerita yang saling berkaitan secara kronologis untuk menunjukkan suatu maksud jalan cerita yang ada.
2. Karakter ialah orang atau hewan yang terlibat dalam cerita. Karakter merupakan elemen yang paling penting dalam struktur cerita karena cerita berpusat pada sebuah karakter atau karakter kelompok. Biasanya, satu atau dua pembulatan penuh dan beberapa karakter pendukung terlibat dalam cerita ini. Karakter utama yang terbangun secara penuh memiliki banyak karakter sifat, baik maupun buruk. Hal itu dapat dinyatakan bahwa mereka mempunyai semua karakteristik atas kenyataan banyak orang. Mengetahui dan menyimpulkan suatu keseluruhan karakteristik adalah suatu bagian penting dari bacaan. Melalui keseluruhan karakteristik kita dapat mengetahui suatu karakter secara baik. Dan karakter itu sendiri dapat terasa hidup.
Karakter-karakter dibangun dalam 4 cara: penampilan, aksi, dialog dan monolog. Pengarang mempresentasikan karakter-karakter untuk melibatkan pembaca dalam pengalaman-pengalaman cerita.
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap
untuk kondisi-kondisi tertentu.Mekanisme Pembentukan Karakter: a. Unsur dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Tentang pikiran, Joseph Murphy mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif. Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip. Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif. Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal. Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar. Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting
b. Proses Pembentukan Karakter
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa. Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
3. Setting. Dalam beberapa cerita setting jarang disketsakan, dan setting ini disebut dengan backdrop setting. Setting tersebut dalam banyak cerita, seperti contoh adalah secara relatif tidak penting dan mungkin secara sederhana menggunakan dengan pemahaman umum. “Once upon a time…” untuk mengatur tingkatan. Dalam cerita yang lain, setting dielaborasi dan menyatu untuk efektifitas suatu cerita. Setting ini disebut dengan integral setting (Lukens, 1991). Sebuah daftar dalam cerita-ceritanya ditunjukkan dalam gambar 9-7. Setting dalam cerita-cerita ini adalah khusus pengarang lebih perhatian untuk menyakinkan keaslian dari sejarah periodik atau geografis lokasi di mana cerita di setting. Empat bentuk dari setting ini adalah lokasi, cuaca, periode dan waktu.
Pengertian Latar/Setting: a) Tempat waktu ataupun suasana terjadinya peristiwa yang dialami dalam cerpen tersebut.
b) Sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. (Abrams, 1981:175).
c) Latar merupakan background sebuah cerita, tempat kejadian, daerah penuturan atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita.
d) Tempat, waktu , suasana yang terdapat dalam cerita. Sebuah cerita harus jelas dimana berlangsungnya, kapan terjadi dan suasana serta keadaan ketika cerita berlangsung.
e) Tempat dan waktu (di mana dan kapan) suatu ceritera terjadi. Yang harus diperhatikan dalam latar adalah tidak hanya segi fisik dari latar itu. Latar sebenarnya memberikan informasi yang sangat penting tentang keadaan masyarakat dimana ceritera itu terjadi pada waktu itu.
f) Segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. (Abdurrosyid, 2009).
Macam-macam Latar:
a) Latar Tempat, menggambarkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita.
b) Latar Waktu, menggambarkan kapan sebuah peristiwa itu terjadi.
c) Latar Sosial, mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita.
d) Latar Emosional lebih sering muncul saat membangun konflik, hingga ia memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah cerita.
4. Sudut Pandang cerita ditulis dari sudut pandang tertentu, dan fokus ini menentukan pada suatu perhatian pembaca terhadap pemahaman karakter-karakter dan kejadian-kejadian-kejadian cerita. Keempat pendapat adalah pandangan pertama, personal, pandangan kesadaran, pandangan kesadaran yang terbatas, dan pandangan yang objektif (Lukens, 1991).
Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang memandang ceritanya. Berikut ini beberapa sudut pandang yang dapat digunakan pengarang dalam bercerita.
a. Sudut pandang orang pertama, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti aku atau saya.
b. Sudut pandang orang ketiga, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga seperti dia, ia atau nama orang yang dijadikan sebagai titik berat cerita.
c. Sudut pandang pengamat serba tahu, Dalam hal ini pengarang bertindak seolah-olah mengetahui segala peristiwa yang dialami tokoh dan tingkah laku tokoh.
d. Sudut pandang campuran, (sudut pandang orang pertama dan pengamat serba tahu). Pengarang mula-mula menggunakan sudut pandang orang pertama. Selanjutnya serba tahu dan bagian akhir kembali ke orang pertama.
5. Tema, tema ialah makna yang penting pada sebuah cerita, dan mengandung kebenaran umum tentang fitrah manusia, (lehr, 1991). Tema biasanya berkaitan dengan nilai dan karakter emosi dan nilai. Tema bisa dinyatakan baik secara eksplisit maupun implisit.
Tema adalah sesuatu yang menjiwai cerita atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Dalam tema tersirat amanat atau tujuan pengarang menulis cerita. Tema juga dapat berarti ide dasar, ide pokok atau gagasan yang menjiwai seluruh karangan yang disampaikan.
Pengertian
tema menurut pendapat para ahli:
a) Menurut Moeliena (1990:921)
Tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (dipercakapkan) yang dipakai sebagai dasar mengarang dan mengubah sajak.
b) Menurut Stanton (1965:4)
Tema merupakan ide sentral atau pokok dalam karya
c) Menurut Holmon (1981:443)
Tema merupakan gagasan sentral yang mencakup permasalahan dalam cerita, yaitu suatu yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita karya sastra.
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu pokok pikiran yang paling utama yang dibangun untuk membentuk ide pokok, guna menunjukkan setiap karakter yang terliban serta memberikan arah tujuan agar si pembaca dapat memahami isi dari karya sastra yang dibuatnya.
C. Mengajarkan kepada Para Siswa tentang Cerita
Cara yang paling penting untuk para siswa mengembangkan konsep-konsep mereka adalah dengan cara membaca dan menulis cerita-cerita, tetapi para guru membantu para siswa dalam memperluas konsep-konsep mereka melalui pelajaran-pelajaran yang sederhana fokus pada keseluruhan elemen-elemen cerita. Pelajaran kecil-kecilan (minilesson) biasanya diajarkan kepada mereka pada tahap eksplorasi dalam proses membaca, hal ini dilakukan setelah para siswa mempunyai kesempatan untuk membaca dan merespon suatu cerita serta mendiskusikan tanggapan-tanggapan mereka.
Minilesson tentang cerita-cerita. Para guru menerapkan strategi pengajaran dengan memulai bab pertama untuk mengajarkan mini pelajaran dengan elemen-elemen struktur cerita dan prosedur-prosedur lainnya, konsep-konsep dan strategi-strategi serta skill-skill yang berhubungan dengan cerita-cerita. Adapun tahapan-tahapan pengajaran mini lesson ini adalah:
1. Pengenalan elemen. Para guru mengenalkan elemen-elemen struktur cerita dengan menggunakan satu lukisan guna mendefinisikan dan mendaftar karakter-karakter dalam elemen tersebut.
2. Analisa elemen cerita-cerita. Pada siswa membaca atau mendengarkan satu atau lebih dari cerita-cerita yang mengilustrasikan elemen. Setelah membaca dan merespon cerita, para siswa menganalisa bagaimana pengarang menerapkan elemen-elemen di dalam cerita tersebut. Para siswa membincangkan cerita-cerita yang telah mereka membaca, mereka mengkaitkan analisa-analisa dengan informasi tentang elemen yang dipresentasikan di tahapan pertama. Para siswa dapat menulis informasi tersebut dari lukisan dalam buku harian bacaan mereka.
Charts for the Elements of Story Structure:
Bagian ke 1 Cerita-cerita. Cerita-cerita mempunyai 3 bagian: 1. Satu permulaan 2. Satu pertengahan 3. Satu akhiran | Bagian ke 2 Permulaan cerita Para penulis meletakkan hal-hal ini di awal satu cerita 1. Karakter diperkenalkan 2. Setting cerita digambarkan 3. Satu masalah dimunculkan 4. Para pembaca mendapatkan ketertarikan pada cerita |
Bagian ke 3 Para penulis meletakkan hal-hal ini dipertengahan satu cerita: 1. Masalah semakin buruk 2. Roadblock (penghalang) menghalangi karakter utama. 3. Informasi lebih disediakan tentang karakter-karakter 4. Pertengahan adalah bagian yang terpanjang 5. Pembaca semakin terlibat dengan cerita dan menekankan pada karakter-karakter | Bagian ke 4 Para penulis meletakkan hal-hal ini dipertengahan satu cerita: 1. Masalah terselesaikan 2. Akhiran yang hilang dikuatkan 3. Para pembaca merasakan satu kesadaran emosi yang dibangun pada pertengahan cerita |
Ke 5 Konflik Konflik adalah masalah yang karakter-karakter hadapi dalam cerita. Ada 4 macam konflik : 1. Konflik anatar satu karakter dengan alam 2. Konflik antara satu karakter dengan masyarakat 3. Antara karakter-karakter. 4. Dalam suatu karakter itu sendiri | Bagian ke 6 Plot Plot adalah runtutan kejadian-kejadian dalam satu cerita . Plot mempunyai 4 bagian : 1. A problem (Suatu masalah). Suatu masalah yang memulai konflik dipresentasikan apa awal sebuah cerita 2. Roadblocks, di pertengahan cerita, karakter berhadapan dengan roadblocks dalam harapan untuk menyelesaikan masalah. 3. The high point. (pointer yang penting) The high point di dalam praktek-nya terjadi ketika masalah itu diselesaikan. The high point ini berbeda saat di tengah dan di akhir suatu cerita. 4. Solution (solusi). Masalah itu diselesaikan dan the roadblocks berada dalam jangkauan akhir cerita.
|
Bagian ke 7 Setting Setting cerita adalah di mana dan kapan cerita itu mengambil tempat. 1. Lokasi: cerita-cerita dapat mengambil tempat di mana saja 2. Iklim: cerita-cerita dapat mengambil tempat dalam bergama keperbedaanm iklim (cuaca) 3. Waktu hari: cerita-cerita dapat mengambil tempat ketika siang hari atau malam hari 4. Waktu periodik: cerita-cerita dapat mengambil tempat di masa lalu, saat sekarang, atau masa mendatang | Bagian ke 8 Karakter-karakter Para penulis membangun karakter dalam 4 cara: 1. Penampakan: bagaimana karakter itu tampak (berpenampilan) 2. Aksi: Apa yang karakter-karakter lakukan 3. Dialog: Apa yang oleh karakter ungkapkan 4. Monolog: apa yang karakter-karakter pikirkan |
Bagian ke 9 Tema Tema adalah arti yang mengaris bawahi satu cerita. 1.Tema yang eksplisit: suatu arti dinyatakan dengan sangat gamblang dalam cerita 2.Tema Implisit: suatu arti di sampaikan melalui karakter-karakter, aksi dan monolog | Bagian ke 10 Pandangan Para penulis menceritakan cerita berdasarkan pada satu dari 4 pandangan berikut ini : 1. Pandangan orang pertama : Penulis menceritakan cerita lewat sudut pandang satu karakter yang menggunakan “I”(saya). 2. Pandangan yang maha tahu: penulis melihat semua dan tahu semua tentang karakter 3. Pandangan maha tahu yang terbatas: Penulis fokus pada satu karakter dan menceritakan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan karakter 4. Pandangan yang objektif: Penulis fokus pada kejadian-kejadian cerita tanpa menceritakan apa yang karakter sedang pikirkan dan rasakan
|
3. Eksplorasi cerita. Para siswa berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan eksploratif untuk menginvestigasi alur bagaimana pengarang menerapkan elemen dalam keseluruhan cerita. Aktifitas-aktifitas tersebut meliputi:
a. penceritaan kembali satu cerita.
b. menulis satu penceritaan dari sebuah cerita dalam format buku.
c. mendramakan satu cerita.
d. mempresentasikan satu pertunjukan permainan dalam satu cerita.
e. melukiskan rangkaian-rangkaian atau diagram yang lain, untuk menampilkan struktur cerita secara grafis.
f. Membuat satu buku kelas tentang cerita dengan masing-masing siswa memberikan sumbangan satu halaman.
4. Mengulang kembali elemen. Guru mereview informasi tentang elemen, menggunakan grafik yang diperkenalkan pada langkah yang pertama. Para siswa menjelaskan elemen dalam kata-kata mereka sendiri, menggunakan satu cerita yang mereka telah baca sebagai sebuah contoh.
MiniLesson Membaca dan Menulis Cerita:
PROSEDUR Membaca dan Menulis Cerita Prosedur: Membuat kelompok permulaan, pertengahan dan akhiran. Membuat sebuah peta cerita. Membuat sebuah diagram plot. Membuat sebuah profil plot. Membuat kelompok karakter. Menggunakan papan cerita. Membuat sebuah bagan untuk membandingkan versi-versi cerita rakyat atau cerita yang lain. Menyusun buku kolaborasi kelas. Menulis buku rumus. Menulis sambungan cerita. Menilai keefektifitasan cerita. Menilai penggunaan strategi membaca dan menulis. |
KONSEP Konsep cerita. Awalan, pertengahan, akhiran. Plot. Karakter. Setting. Tema. Sudut pandang . Gaya cerita. Bacaan Aesthetik. Interpretasi. Penulis-penulis. Illustrator. Jenis-jenis illustrator. Sambungan cerita. | Strategi dan skill Visualisasikan Prediksikan dan beri penguatan Tinjau ulang Terlibatlah dengan text Tekankan pada karakter Identifikasi-lah karakter Tulis-lah dialog untuk karakter Elaborasi-lah pada plot Perhatikan-lah pertentangan dalam cerita Ceritakan kembali cerita tersebut. Awasi pemahaman. Hubungkan dengan kehidupan diri. Hubungkan dengan literatur yang telah dibaca sebelumnya. Kembangkan cerita tersebut. Nilailah cerita tersebut. Evaluasi kembali cerita tersebut. Analisa-lah cerita tersebut.
|
Sebuah daftar dari tema-tema untuk mini lesson tentang cerita-cerita dipresentasikan di atas. Tema-tema ini termasuk prosedur, konsep dan strategi- dan skill-skill untuk bacaan dan tulisan cerita-cerita.
D. Adaptasi untuk Bertemu dengan Kebutuhan Setiap Siswa
Cerita-cerita adalah suatu bagian yang besar dari program seni bahasa tingkat dasar dan para guru harus menemukan cara untuk melibatkan semua siswa dalam kesuksesan membaca dan menulis pengalaman-pengalaman dengan cerita-cerita. Saran-saran ini menekankan pentingnya keikutsertaan para siswa untuk merespon cerita-cerita sebelum mengeksplorasi mereka dan menemukan cara-cara untuk mendorong para siswa ketika mereka membaca dan menulis.
E. Konsep Analisa Evaluasi para Siswa terhadap Cerita-Cerita
Para guru menganalisa kembali konsep-konsep para siswa tentang cerita-cerita dalam banyak cara. Mereka mengobservasi para siswa ketika mereka membaca dan memberikan respon terhadap cerita-cerita. Mereka dapat memberikan catatan baik atau tidak, para siswa mampu peka terhadap elemen-elemen cerita ketika mereka membincangkan cerita-cerita selama percakapan utama. Beberapa siswa membincangkan karakter yang lebih mereka senangi, atau mereka membandingkan dua cerita yang telah mereka baca. Para guru memberikan catatan-catatan yang mana para siswa menggunakan terminologi yang terkait dengan elemen-elemen cerita. Para guru juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang elemen-elemen cerita selama percakapan-percakapan utama dan mencatat tanggapan yang dibuat para siswa. Buku bacaan harian para siswa juga menyediakan alasan tipe yang sama atas komentar-komentar dan reaksi-reaksi.
F. Adaptasi bacaan dan tulisan cerita-cerita.
Beberapa hal yang harus dilakukan untuk mempertemukan kebutuhan masing-masing siswa:
1. Membaca dengan keras kepada para siswa.
2. Menyemangati para siswa untuk memilih cerita-cerita lalu membaca.
3. Mendramakan cerita-cerita.
4. Menulis cerita kembali cerita-cerita.
5. Bekerja dalam gabungan bacaan dan tulisan-tulisan kelompok.
Cara yang lain, di mana para siswa mendemonstrasikan pemahaman mereka tentang elemen-elemen cerita adalah dengan membuat rangkaian, lukisan dan diagram-diagram. Aktifitas-aktifitas ini adalah perkembangan yang alamiah dari respon para siswa untuk suatu cerita, tidak beralasan kenapa para siswa membaca cerita-cerita (Urzu, 1992). Para guru juga mendokumentasikan pemahaman para siswa terhadap elemen-elemen cerita dengan menguji cerita-cerita yang mereka telah tulis, hal ini untuk melihat bagaimana mereka mengajukan pengetahuan mereka sendiri tentang cerita-cerita.
G. Bacaan Cerita-Cerita
Para siswa membaca cerita-cerita secara estetis, dan konsep cerita mereka memberikan informasi serta memberikan dukungan pada bacaan mereka. Mereka membaca cerita-cerita yang populer dan memberikan penghargaan secara bersama-sama. Seperti sebuah kelas selama unit yang memfokuskan pada literatur. Mereka membaca cerita-cerita yang mereka pilih sendiri dalam latihan bacaan. Dan mereka membaca cerita yang lain sebagai satu bagian dari lingkaran tema. Para siswa menggunakan proses-proses bacaan untuk membaca merespon, mengeksplorasi dan mengembangkan bacaan mereka sendiri. Bacaan cerita-cerita dengan para siswa adalah hal yang lebih ketimbang satu cara yang menyenangkan untuk menggunakan waktu satu jam, hal itu memungkinkan bagian komunitas-komunitas dalam ruangan kelas untuk diciptakan (Cairney, 1992). Bacaan, tulisan dan perbincangan tentang cerita-cerita adalah tambahan yang alamiah dalam hubungan-hubungan bahwa para siswa telah membangunnya secara bersama-sama. Para siswa membagikan cerita-cerita yang sedang mereka baca dengan teman-teman kelas mereka, dan mereka bekerja secara bersama dalam proyek-proyek untuk mengembangkan tafsiran-tafsiran mereka sendiri.
H. Bacaan yang aestetik
Berdasarkan pandangan Louise Rosenblatt (1978), bacaan adalah pengalaman pribadi selama pembaca-pembaca berhubungan dengan cerita yang sedang mereka baca untuk kehidupan mereka sendiri dan pengalaman-pengalaman literatur sebelumnya. Tujuan estetis bacaan adalah tafsir, negosiasi makna antara pembaca dan teks (Rosenblatt, 1978,1985). Pembaca tidak dapat menyelidiki makna ”benar” pengarang, di samping mereka menciptakan suatu makna personal untuk mereka sendiri, sebuah cerita mengingatkan kembali keperbedaan makna-makna dalam keperbedaan para pembaca atau bahkan dalam pembaca yang sama dalam waktu yang berbeda dalam kehidupan pembaca.
Para siswa menggunakan strategi ketika mereka menciptakan penafsiran-penafsiran. Strategi-strategi ini untuk bacaan dan tanggapan terhadap cerita termasuk hal-hal berikut ini: a. Imaginasi. Para siswa menciptakan imajinasi-imajinasi atau gambar-gambar cerita yang ada dipikirkan mereka.
b. Antisipasi. Para siswa mengantisipasi atau membuat prediksi tentang pada apa yang akan terjadi dalam cerita tersebut.
c. Pemikiran ulang. Para siswa memikirkan kembali untuk apa yang mereka baca dan bagaimana hal itu berimbas pada apa yang mereka sedang baca sekarang.
d. Keterlibatan. Para siswa dapat terlibat dalam cerita, semakin banyak mereka semakin mereka rasakan, mereka terbawa oleh waktu dan ruang dalam cerita.
e. Empati. Para siswa merespon perasaan mereka ketika mereka membaca.
f. Identifikasi. Para siswa membuat hubungan-hubungan antara satu karakter dengan mereka sendiri
g. Elaborasi. Para siswa membuat penyimpulan dan penambahan informasi pada apa yang mereka baca.
h. Pencatatan pertentangan. Para siswa mencatat tensi (perasaan) oposisi atau kontras dalam cerita.
i. penceritaan ulang. Para siswa menceritakan kembali atau merangkum apa yang mereka baca.
j. Pengawasan. Para siswa membuat semakin yakin bahwa mereka sedang membaca makin membuat sense bagi mereka.
k. Menghubungkan dengan kehidupan. Para siswa membuat hubungan dengan kejadian-kejadian, karakter-karakter dan aspek yang lain dari cerita dengan kehidupan mereka sendiri.
l. Menghubungkan dengan literatur. Para siswa membuat hubungan antara cerita yang mereka baca dengan cerita-cerita lain yang telah mereka baca.
m. Pengembangan. Para siswa beranjak melampaui cerita untuk berpikir tentang film atau cara yang mana mereka akan beradaptasi dengan cerita apabila mereka sedang menulisnya.
n. Menilai dan mengevaluasi. Para siswa membuat judgment tentang kenapa, mereka suka dengan cerita atau betapa membaca itu penting.
o. Analisa, para siswa menganalisa pengarang yang menggunakan struktur elemen cerita.
Para guru menjelaskan strategi-strategi ini selama mini lesson, dan para siswa belajar menggunakan strategi ketika mereka membaca secara estetis dan berpartisipasi dalam aktifitas-aktifitas responsif.
Penafsiran membangun secara gradual. Karena para siswa memilih sendiri satu buku oleh pengarang yang favorite atau melihatnya lewat cover buku, maka mereka akan menarik dalam pemikirannya pengalaman masa lalu dan membuat prediksi-prediksi dan penafsiran mulai membentuk diri, ini berlanjut guna membangun diri siswa ketika mereka membaca, merespon dan mengeksplorasi cerita. Ketika para siswa mendiskusikan cerita dan menulis respon-respon dalam buku harian bacaan-bacaan, penafsiran semakin mendalam. Para siswa mulai beranjak melampaui teks yang aktual ketika mereka mengerjakan proyek dan proyek-proyek ini mengembangkan penafsiran lebih jauh lagi.
Para siswa menggunakan opini yang menarik ketika membaca cerita, ketika mempertentangkan opini efferent ketika mereka membaca untuk mengingat kembali informasi. Opini para pembaca mengambil indikasi fokus atas perhatian mereka selama pembacaan. Dalam pembelajaran dalam akibat-akibat estetik atau pun efferent opini yang ke 4, ke 6, ke 8 lebih tinggi lagi penafsiran cerita, Joyce many (1991) menemukan para siswa yang membaca secara philosofis mempunyai level-level yang lebih tinggi dalam penafsiran.
Para guru memberikan semangat membaca philosophis dan penafsiran dalam banyak cara dari berbagai cerita yang mereka bagikan dengan para siswa dalam mini lesson yang mereka ajarkan dan tipe-tipe respon dan kegiatan-kegiatan eksplorasi yang mereka rencanakan untuk para siswa, para guru membuat sebuah iklim ruang kelas untuk bacaan philosopis.
I. Intertekstualitas.
Ketika para siswa menciptakan penafsiran-penafsiran, mereka membuat hubungan-hubungan pada buku-buku yang telah mereka baca sebelumnya, dan hubungan-hubungan ini disebut dengan intertekstualitas (de Beaugrade, 1980). Para siswa menggunakan intertekstualitas ketika merespon buku-buku yang mereka baca dengan menyadari kemiripan-kemiripan antar karakter-karakter, alur cerita, dan tema-tema. Para siswa juga menggunakan intertekstualitas ketika mereka menggabungkan ide-ide dan struktur-struktur dalam cerita-cerita yang telah mereka baca ke dalam cerita-cerita yang sedang mereka tulis. Lima karakteristik intertekstualitas adalah (Cairney, 1990, 1992):
1). Individual dan unik, pengalaman literatur para siswa dan hubungan-hubungan yang mereka buat antara mereka berbeda-beda.
2). Berdasarkan pada pengalaman literatur. Intertekstualitas adalah tergantung pada tipe-tipe buku-buku yang para siswa telah baca, harapan mereka dan ketertarikan bacaan dan komunitas-komunitas literatur yang mereka miliki.
3). Kesadaran metakognitif, kebanyakan para siswa sadar akan intertekstualitas dan secara kesadaran membuat hubungan-hubungan antara teks tersebut.
4). Menghubungkan pada konsep cerita. Hubungan-hubungan para siswa dengan cerita-cerita adalah hubungkan oleh pengetahuan mereka tentang literatur.
5). Hubungan-hubungan bacaan-tulisan. Para siswa membuat hubungan antara cerita-cerita yang mereka baca dan cerita-cerita yang mereka tulis.
Keseluruhan pengalaman-pengalaman para siswa dengan literatur-termasuk cerita-cerita yang para orang tua telah baca dan ceritakan kepada anak-anak mereka, buku-buku para siswa yang telah membaca atau mereka dengar dari guru yang membaca dengan keras, versi film-film yang telah mereka kaji ulang, konsep-konsep cerita mereka ada pengetahuan tentang pengarang-pengarang dan ilustrasi-ilustrasi dan buku-buku.
BAB III
PENUTUP
Simpulan.
Anak-anak muda mempunyai basis kesadaran tentang pembuatan cerita. Pengetahuan tentang cerita-cerita disebut dengan suatu konsep tentang cerita. Konsep anak-anak tentang cerita termasuk informasi tentang elemen-elemen atas struktur cerita, seperti karakter-karakter, alur cerita, dan setting/latar sama juga dengan informasi tentang kebiasaan-kebiasaan yang penulis gunakan. Pengetahuan ini biasanya bersifat intuisi, yakni anak-anak tidak menyadari tentang apa yang mereka ketahui. Golden (1984) menggambarkan konsep cerita anak-anak sebagai “suatu representasi mental dalam struktur cerita, secara esensial suatu garis-garis besar atas basis elemen-elemen cerita dan susunan-nya”.
Ada lima elemen dari struktur cerita, yakni:
1. plot (alur cerita), adalah serangkaian kejadian-kejadian yang melibatkan karakter-karakter di dalam situasi-situasi konflik.
2. karakter, adalah tabiat atau kebiasaan.
3. setting, Sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. (Abrams, 1981:175).
4. tema, ialah makna yang penting pada sebuah cerita, dan mengandung kebenaran umum tentang fitrah manusia, (lehr, 1991).
5. sudut pandang, Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang memandang ceritanya.
Cara yang paling penting untuk para siswa mengembangkan konsep-konsep mereka adalah dengan cara membaca dan menulis cerita-cerita, tetapi para guru membantu para siswa dalam memperluas konsep-konsep mereka melalui pelajaran-pelajaran yang sederhana fokus pada keseluruhan elemen-elemen cerita. Pelajaran kecil-kecilan (minilesson) biasanya diajarkan kepada mereka pada tahap eksplorasi dalam proses membaca, hal ini dilakukan setelah para siswa mempunyai kesempatan untuk membaca dan merespon suatu cerita serta mendiskusikan tanggapan-tanggapan mereka.
Cerita-cerita adalah suatu bagian yang besar dari program seni bahasa tingkat dasar dan para guru harus menemukan cara untuk melibatkan semua siswa dalam kesuksesan membaca dan menulis pengalaman-pengalaman dengan cerita-cerita.
Para guru menganalisa kembali konsep-konsep para siswa tentang cerita-cerita dalam banyak cara. Mereka mengobservasi para siswa ketika mereka membaca dan memberikan respon terhadap cerita-cerita.
Beberapa hal yang harus dilakukan untuk mempertemukan kebutuhan masing-masing siswa:
1. Membaca dengan keras kepada para siswa.
2. Menyemangati para siswa untuk memilih cerita-cerita lalu membaca.
3. Mendramakan cerita-cerita.
4. Menulis cerita kembali cerita-cerita.
5. Bekerja dalam gabungan bacaan dan tulisan-tulisan kelompok.
Para siswa membaca cerita-cerita secara estetis, dan konsep cerita mereka memberikan informasi serta memberikan dukungan pada bacaan mereka. Mereka membaca cerita-cerita yang populer dan memberikan penghargaan secara bersama-sama.
Berdasarkan pandangan Louise Rosenblatt (1978), bacaan adalah pengalaman pribadi selama pembaca-pembaca berhubungan dengan cerita yang sedang mereka baca untuk kehidupan mereka sendiri dan pengalaman-pengalaman literatur sebelumnya. Tujuan estetis bacaan adalah tafsir, negosiasi makna antara pembaca dan teks (Rosenblatt, 1978,1985).
Lima karakteristik intertekstualitas adalah (Cairney, 1990, 1992):
1. Individual dan unik, pengalaman literatur para siswa dan hubungan-hubungan yang mereka buat antara mereka berbeda-beda.
2. Berdasarkan pada pengalaman literatur.
3. Kesadaran metakognitif.
4. Menghubungkan pada konsep cerita.
5. Hubungan-hubungan bacaan-tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/08/plotalur.html
http://pendikananakdesa.blogspot.com/2010/05/pengertian-dan-macam-latar-setting.html
Singh, N. K. 2000. Encyclopaedia of the Holy Qur’ân Edisi I. New Delhi: Balaji Offset.
Byrne, Rhonda. 2007. The Secret. Jakarta: PT Gramedia.
Murphy, Joseph. 2002. Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar. Jakarta: Spektrum.
W. Gunawan, Adi. 2005. Hypnosis The Art of Subconscious Communication. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Adi W. Gunawan & Setyono, Ariesandi. Manage Your Mind for Success. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Setyono, Ariesandi.2006. Hypnoparenting: Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/08/plotalur.html
http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.html
Adi W. Gunawan dan Ariesandi Setyono, Manage Your Mind for Success, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) h. 38 Ariesandi Setyono, Hypnoparenting: Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 50 http://pendikananakdesa.blogspot.com/2010/05/pengertian-dan-macam-latar-setting.html http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/2043784-pengertian-sudut-pandang/ http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2043783-pengertian-tema/
0 komentar:
Posting Komentar