Rabu, 28 Desember 2011

Pendidikan Bahasa Indonesia

                Tugas Terstruktur                                                                Dosen Pengasuh
Bahasa Indonesia 2                                                       Noor Alfu Laila, M. Pd. I


Membaca dan Menulis Cerita


Disusun Oleh:
Rahmawati NIM. 0901290618

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PGMI
BANJARMASIN
2011

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufiq dan Hidayah serta Inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat mengenal kebenaran dan mengikutinya agar kita semua terhindar dari celaan dan siksaan.
Sholawat dan salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
            Makalah ini disajikan dalam rangka memenuhi tugas terstruktur, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnnya kepada Ibu Noor Alfu Laila Dosen Pengasuh Mata Kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pencerahan ilmu  pengetahuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah  ini.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik dalam segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Dan akhirnya semoga makalah ini memberikan manfaat yang lebih bagi penulisnya dan bagi pembaca umumnya.




Banjarmasin,  Oktober 2011



Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………………….…..….…  i
Kata Pengantar ……………………………………………………………………….…….. ii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………… iii
BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………………………….. 1
BAB II: PEMBAHASAN
A.    Mengembangkan Konsep Cerita Siswa …………………………….…….…….. 3
B.     Elemen-Elemen Struktur Cerita ……………………………………………..….. 4
C.     Mengajarkan kepada Para Siswa Tentang Cerita ………………………..…..… 11
D.    Adaptasi untuk Bertemu dengan Kebutuhan Setiap Siswa …………………..... 17
E.     Konsep Analisa Evaluasi para Siswa terhadap Cerita-Cerita ……………….… 17
F.      Adaptasi Bacaan dan Tulisan Cerita-Cerita ………………………………….... 17
G.    Bacaan Cerita-Cerita …………………………………………………………... 18
H.    Bacaan yang Aestetik ………………………………………………………...…18
I.       Intertekstualitas ……………………………………………………………...… 21
BAB III:PENUTUP
              Simpulan ………………………………………………………………………..… 22
Daftar Pustaka ……………….……………………………………………………………... 24





BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa siswa menjadi begitu terlibat dalam cerita karena mereka telah membaca.  Ketika mereka sedang membaca mereka terlihat melangkah pada dunia  yang lain. Para siswa ini  memiliki  cerita-cerita  favorit yang  selalu mereka  baca, dan mereka memilih  untuk membaca  sebagai suatu  kegiatan  di saat-saat luang.  Untuk para siswa yang lain, membaca  adalah suatu tugas sebagai sesuatu yang  hanya mereka kerjakan ketika mereka harus membacanya.
 Salah satu tujuan instruksi membaca adalah untuk menunjukkan kepada para siswa tentang bagaimana menyenangkannya membaca, sehingga mereka akan beralih menjadi pembaca sepanjang masa. Para guru berharap bahwa para siswa akan memilih untuk menentukan  satu buku dan membaca satu cerita ketimbang  misalnya untuk bermain video game. Setelah  kita baca bahasan berikut ini maka berpikirlah tentang pertanyaan ini.
Bagaimana  para  guru  dapat membantu  para  pelajar (siswa)  menjadi pembaca-pembaca sepanjang  hayat?
Untuk menjawab pertanyaan di atas marilah kita membaca beberapa pembahasan di bawah ini agar kita nantinya sebagai seorang guru mampu menanamkan pentingnya menjadi pembaca sepanjang hayat.








BAB II
PEMBAHASAN
Cerita-cerita memberikan makna pada pengalaman manusia, dan cerita adalah cara yang ampuh untuk mengetahui dan belajar. Anak-anak pra sekolah mendengarkan anggota-anggota keluarga saat bercerita dan membaca cerita-cerita dengan suara keras, dan mereka telah mengembangkan pemahaman atau konsep tentang cerita pada saat mereka datang ke sekolah. Para siswa menerapkan dan menemukan  kembali  pengetahuan  ini sebagaimana mereka telah membaca dan menulis cerita-cerita selama dalam tingkatan kelas dasar. Banyak dari para pendidik, termasuk Jerome Bruner 1986 merekomendasikan penggunaan cerita-cerita sebagai  suatu jalan dalam literatur.
Terkadang para guru menggunakan semua literatur yang mana para siswa membaca dan menulisnya  sebagai “cerita-cerita”, tetapi cerita-cerita merupakan suatu bentuk yang  menyeluruh. Mereka mempunyai elemen-elemen struktur yang khusus termasuk karakteristik-karakteristik dan alur cerita.
Para siswa menceritakan dan menulis cerita-cerita  tentang kejadian-kejadian  dalam kehidupan mereka seperti, hari ulang tahun, perjalanan memancing, atau kecelakaan di jalan raya, mengulang kembali cerita-cerita yang  sudah familiar.
Cerita-cerita yang telah ditulis oleh para siswa merefleksikan  cerita-cerita  yang telah  mereka  baca.  De  Ford (1981), dan Eckhoff (1983) menemukan bahwa  ketika  para siswa  pada  tingkatan pemula membaca cerita-cerita di dalam sebagai dasar teks-teks buku  bacaan,  cerita-cerita  yang  mereka tulis merefleksikan secara singkat, meniru gaya bahasa yang sederhana bagi   para pembaca, tetapi ketika para  siswa  membaca  cerita-cerita di dalam buku-buku percakapan, tulisan mereka merefleksikan lebih kepada struktur-struktur bahasa yang mudah dipahami dan  gaya tulisan pada buku-buku percakapan.  Dressel (1990)  juga  menemukan bahwa  kualitas dari tingkatan tulisan yang ke lima adalah tergantung pada kualitas dari cerita-cerita yang mereka  baca atau yang telah mereka dengarkan dengan keras kepada orang lain, terlepas dari tingkat membaca siswa.

A.    Mengembangkan Konsep Cerita siswa
Anak-anak muda mempunyai basis kesadaran tentang  pembuatan cerita. Pengetahuan tentang  cerita-cerita disebut dengan  suatu  konsep tentang cerita.  Konsep anak-anak  tentang  cerita termasuk  informasi tentang  elemen-elemen atas struktur cerita, seperti  karakter-karakter,  alur cerita, dan setting/latar sama juga dengan informasi  tentang  kebiasaan-kebiasaan yang penulis  gunakan. Pengetahuan ini  biasanya bersifat intuisi, yakni  anak-anak tidak menyadari   tentang apa yang mereka ketahui. Golden (1984) menggambarkan  konsep  cerita anak-anak sebagai “suatu representasi mental dalam struktur cerita, secara esensial suatu garis-garis besar atas basis elemen-elemen cerita dan susunan-nya”.
Para peneliti telah mendokumentasikan  bahwa konsep cerita  anak-anak bermula di periode  pra-sekolah, dan bahwa  anak-anak seumuran 2 ½ tahun memiliki rasa dasar dari cerita. Anak-anak  menangkap konsep bercerita ini secara bertahap, dengan mendengarkan cerita-cerita yang dibacakan pada mereka, dengan membaca cerita sendiri, dan dengan menceritakan dan menulis cerita. Tidaklah mengherankan,  bahwa anak-anak yang  lebih  tua mempunyai pemahaman yang lebih baik dari struktur cerita dibandingkan dengan anak-anak yang lebih  muda. Demikian pula, cerita-cerita anak yang lebih tua mengatakan dan menulis semakin lebih kompleks, struktur alur cerita lebih erat terorganisir, dan karakter yang lebih lengkap dikembangkan. Tetapi Applebee (1980) menemukan  bahwa  saat anak-anak mulai di tingkatan taman kanak-kanak, mereka telah membangun  konsep tentang cerita apa, dan harapan-harapan ini menuntun mereka dalam merespon cerita-cerita dan menceritakan cerita-cerita mereka  sendiri. Applebee menemukan, sebagai  contoh,  bahwa anak-anak taman kanak-kanak dapat menerapkan 3 pencipta  cerita; permulaan waktu untuk memulai sebuah cerita, bentuk lampau dalam menceritakan sebuah cerita. Dan akhiran secara formal, seperti "Tamat" atau "... dan mereka hidup bahagia selamanya."
Konsep cerita para siswa menyumbangkan suatu aturan yang penting di dalam menafsirkan cerita-cerita yang mereka baca (Mandler &  Jonhson, 1977;  Rumelhart, 1975; Stein & Glenn, 1979),  dan hal itu  juga  penting dalam menulis (Golden, 1984).  Para  siswa terus mengembangkan pemahaman mereka tentang cerita-cerita melalui pengalaman-pengalaman membaca dan menulis (Golden, Mainers & Lewis, 1992), Sembari mereka merespon dan mengeksplorasi cerita-cerita mereka saat  membaca dan menulis, para siswa belajar tentang  elemen-elemen dari struktur cerita dan kategori-kategori cerita-cerita. Golden dan rekan-rekannya mengatakan bahwa makna cerita adalah dinamis, berkembang terus menerus dalam pikiran pembaca.
B.     Elemen-Elemen Struktur Cerita
Cerita-cerita mempunyai elemen-elemen struktur yang unik yang membedakan mereka dengan bentuk-bentuk tulisan yang lainnya. Dalam  kenyataannya,  struktur  cerita-cerita  begitu kompleks, alur cerita, karakter-karakter, setting/latar dan elemen-elemen  yang lain  saling berinteraksi antar satu dengan lainnya untuk memproduksi sebuah cerita. Para pengarang  memanipulasi elemen-elemen tersebut untuk membuat cerita mereka yang komplek dan  menarik.  Kita akan menfokuskan  pada  lima elemen dari struktur  cerita , yakni plot (alur cerita), karakter, setting, tema dan sudut pandang dan kita kan menggambarkan masing-masing  elemen dengan  materi-materi  buku-buku yang sudah sangat  familiar.
1.      Plot  (alur cerita) adalah serangkaian kejadian-kejadian yang melibatkan karakter-karakter  di dalam  situasi-situasi konflik. Sebuah  alur cerita didasarkan pada tujuan-tujuan satu karakter atau bahkan lebih dan proses-proses yang menyembatani untuk menyukseskan tujuan-tujuan tersebut (Lukens, 1991).
Aspek yang  paling dasar dari plot ini adalah  bagian dari  kejadian-kejadian  utama   dari sebuah  cerita yang terbagi ke dalam tiga  bagian; permulaan,  pertengahan, dan akhiran.   Para siswa pada level yang lebih tinggi mungkin akan mengubah pengenalan istilah menjadi pendahuluan, kelanjutan, dan penyelesaian.
Konflik, adalah ketegangan atau pertentangan antara pasukan di plot, dan hal itu adalah ketertarikan pembaca untuk melanjutkan membaca cerita. Konflik senantiasa terjadi (Lukens, 1991):
a.       Antara  suatu karakter dan  alam.
b.      Antara  suatu karakter  dan masyarakat.
c.       Antara  karakter-karakter.
d.      Dalam suatu  karakter itu sendiri.
Plot itu di bangun melalui konflik yang dikenalkan di awal suatu cerita, dikembangkan  di  tengah dan akhirnya  dituntaskan di akhir  cerita. Bangunan plot  terdiri dari  4  komponen-komponen, yaitu:
a.       Sebuah masalah, yang memulai konflik  dipresentasikan  apa awal  sebuah  cerita.
b.      Hambatan. Di tengah cerita, karakter wajah hambatan dalam upaya untuk memecahkan masalah.
c.       Titik tinggi. Titik tinggi dalam aksi terjadi ketika masalah akan segera dipecahkan. Titik tinggi ini  berbeda  saat di tengah dan di akhir  suatu  cerita.
d.      Solusi Masalah itu diselesaikan dan hambatan yang diatasi pada akhir cerita.
Pengertian Plot menurut beberapa ahli :[1]
1.      Menurut Virgil Scoh, 1966 : 2. Plot adalah prinsip yang isensial dalam cerita.
2.      Menurut Morjorie Boulton, 1975 : 45. Plot adalah pengorganisasian dalam novel atau penentu struktur novel.
3.      Menurut Dick Hartoko, 1948:149. Plot sebagai alur cerita yang dibuat oleh pembaca yang berupa deretan peristiwa secara kronologis, saling berkaitan dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami pelaku cerita. Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan alur/plot adalah suatu cerita yang saling berkaitan secara kronologis untuk menunjukkan suatu maksud jalan cerita yang ada.

2.      Karakter ialah orang atau hewan yang terlibat dalam cerita. Karakter merupakan elemen yang paling penting dalam struktur cerita karena cerita berpusat pada sebuah karakter atau karakter kelompok. Biasanya, satu atau dua pembulatan penuh dan beberapa karakter pendukung terlibat dalam cerita ini. Karakter utama yang terbangun secara penuh memiliki banyak karakter sifat, baik maupun buruk.  Hal itu  dapat dinyatakan bahwa  mereka  mempunyai  semua karakteristik atas kenyataan banyak orang. Mengetahui dan menyimpulkan suatu keseluruhan karakteristik adalah suatu bagian penting dari bacaan. Melalui keseluruhan karakteristik kita dapat mengetahui  suatu karakter secara  baik. Dan  karakter itu sendiri dapat terasa hidup.
Karakter-karakter dibangun dalam 4 cara: penampilan, aksi, dialog dan monolog. Pengarang mempresentasikan karakter-karakter untuk melibatkan pembaca dalam pengalaman-pengalaman cerita.
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.[2]
Mekanisme Pembentukan Karakter:[3]
a.       Unsur dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya.[4] Tentang pikiran, Joseph Murphy mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif.[5] Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip.
Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif.[6]
Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.[7]
Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar. Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting
b.       Proses Pembentukan Karakter
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga.[8] Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
3.      Setting.  Dalam beberapa cerita  setting  jarang disketsakan, dan setting ini  disebut dengan  backdrop setting. Setting tersebut  dalam banyak  cerita, seperti  contoh adalah secara relatif tidak penting dan mungkin secara sederhana menggunakan dengan pemahaman umum. “Once  upon a  time…”   untuk mengatur  tingkatan.  Dalam cerita yang lain, setting dielaborasi  dan menyatu untuk  efektifitas   suatu cerita.   Setting ini disebut dengan integral setting (Lukens, 1991).  Sebuah daftar  dalam cerita-ceritanya   ditunjukkan dalam gambar 9-7. Setting  dalam  cerita-cerita ini adalah khusus pengarang lebih perhatian untuk menyakinkan keaslian dari sejarah periodik atau geografis lokasi di  mana cerita di setting. Empat  bentuk dari setting ini adalah lokasi, cuaca, periode dan waktu.
Pengertian Latar/Setting:[9]
a)      Tempat waktu ataupun suasana terjadinya peristiwa yang dialami dalam cerpen tersebut.
b)      Sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. (Abrams, 1981:175).
c)      Latar merupakan background sebuah cerita, tempat kejadian, daerah penuturan atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita.
d)     Tempat, waktu , suasana yang terdapat dalam cerita. Sebuah cerita harus jelas dimana berlangsungnya, kapan terjadi dan suasana serta keadaan ketika cerita berlangsung.
e)       Tempat dan waktu (di mana dan kapan) suatu ceritera terjadi. Yang harus diperhatikan dalam latar adalah tidak hanya segi fisik dari latar itu. Latar sebenarnya memberikan informasi yang sangat penting tentang keadaan masyarakat dimana ceritera itu terjadi pada waktu itu.
f)       Segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. (Abdurrosyid, 2009).
Macam-macam Latar:
a)      Latar Tempat, menggambarkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita.
b)       Latar Waktu, menggambarkan kapan sebuah peristiwa itu terjadi.
c)       Latar Sosial, mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita.
d)     Latar Emosional lebih sering muncul saat membangun konflik, hingga ia memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah cerita.

4.      Sudut Pandang cerita ditulis dari sudut pandang tertentu, dan  fokus ini menentukan pada suatu perhatian pembaca terhadap pemahaman karakter-karakter dan kejadian-kejadian-kejadian cerita. Keempat pendapat adalah pandangan pertama, personal, pandangan kesadaran, pandangan kesadaran yang terbatas, dan pandangan yang objektif (Lukens, 1991).
Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang memandang ceritanya. Berikut ini beberapa sudut pandang yang dapat digunakan pengarang dalam bercerita.[10]
a. Sudut pandang orang pertama, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti aku atau saya.
b. Sudut pandang orang ketiga, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga seperti dia, ia atau nama orang yang dijadikan sebagai titik berat cerita.
c. Sudut pandang pengamat serba tahu, Dalam hal ini pengarang bertindak seolah-olah mengetahui segala peristiwa yang dialami tokoh dan tingkah laku tokoh.
d. Sudut pandang campuran, (sudut pandang orang pertama dan pengamat serba tahu). Pengarang mula-mula menggunakan sudut pandang orang pertama. Selanjutnya serba tahu dan bagian akhir kembali ke orang pertama.

5.      Tema, tema ialah makna yang penting pada sebuah cerita, dan mengandung kebenaran umum tentang fitrah manusia, (lehr, 1991).  Tema biasanya berkaitan dengan  nilai dan karakter  emosi dan nilai. Tema bisa dinyatakan  baik secara eksplisit maupun implisit.
Tema adalah sesuatu yang menjiwai cerita atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Dalam tema tersirat amanat atau tujuan pengarang menulis cerita. Tema juga dapat berarti ide dasar, ide pokok atau gagasan yang menjiwai seluruh karangan yang disampaikan.[11] Pengertian tema menurut pendapat para ahli:
a)      Menurut Moeliena (1990:921)
Tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (dipercakapkan) yang dipakai sebagai dasar mengarang dan mengubah sajak.
b)      Menurut Stanton (1965:4)
Tema merupakan ide sentral atau pokok dalam karya
c)      Menurut Holmon (1981:443)
Tema merupakan gagasan sentral yang mencakup permasalahan dalam cerita, yaitu suatu yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita karya sastra.
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu pokok pikiran yang paling utama yang dibangun untuk membentuk ide pokok, guna menunjukkan setiap karakter yang terliban serta memberikan arah tujuan agar si pembaca dapat memahami isi dari karya sastra yang dibuatnya.
C.    Mengajarkan  kepada Para Siswa tentang Cerita
Cara yang paling penting untuk para siswa mengembangkan konsep-konsep  mereka  adalah dengan cara membaca dan menulis cerita-cerita, tetapi para guru membantu para siswa dalam memperluas konsep-konsep mereka melalui pelajaran-pelajaran yang sederhana fokus pada keseluruhan elemen-elemen cerita. Pelajaran kecil-kecilan (minilesson) biasanya diajarkan kepada mereka pada  tahap eksplorasi dalam proses membaca, hal ini dilakukan  setelah para siswa  mempunyai  kesempatan  untuk membaca  dan merespon  suatu  cerita serta mendiskusikan  tanggapan-tanggapan mereka.
Minilesson tentang cerita-cerita. Para guru menerapkan strategi pengajaran dengan memulai  bab pertama  untuk mengajarkan mini pelajaran  dengan elemen-elemen struktur  cerita dan   prosedur-prosedur lainnya, konsep-konsep dan strategi-strategi serta skill-skill yang berhubungan  dengan   cerita-cerita. Adapun tahapan-tahapan  pengajaran  mini lesson ini  adalah:
1.      Pengenalan  elemen.   Para  guru mengenalkan  elemen-elemen  struktur  cerita dengan menggunakan satu lukisan guna mendefinisikan dan mendaftar karakter-karakter dalam elemen tersebut.
2.      Analisa elemen cerita-cerita.  Pada siswa membaca  atau mendengarkan satu atau lebih dari cerita-cerita yang  mengilustrasikan elemen. Setelah membaca dan merespon  cerita, para siswa  menganalisa bagaimana pengarang menerapkan elemen-elemen di dalam cerita tersebut.  Para  siswa  membincangkan cerita-cerita yang telah mereka membaca, mereka mengkaitkan analisa-analisa dengan informasi tentang elemen yang dipresentasikan di tahapan pertama. Para siswa dapat menulis informasi tersebut  dari  lukisan  dalam buku harian bacaan mereka.
Charts for the Elements of Story Structure:
Bagian ke 1
Cerita-cerita.
Cerita-cerita mempunyai  3  bagian:
1.      Satu permulaan
2.      Satu pertengahan
3.      Satu akhiran
Bagian ke 2
Permulaan   cerita
 Para penulis meletakkan  hal-hal ini di awal  satu  cerita
1.      Karakter diperkenalkan
2.      Setting cerita  digambarkan
3.      Satu masalah dimunculkan
4.      Para pembaca mendapatkan  ketertarikan  pada  cerita

Bagian  ke 3
Para penulis meletakkan hal-hal ini  dipertengahan  satu   cerita:
1.      Masalah semakin  buruk
2.      Roadblock (penghalang) menghalangi   karakter  utama.
3.      Informasi lebih disediakan tentang  karakter-karakter
4.      Pertengahan adalah bagian yang  terpanjang
5.      Pembaca  semakin  terlibat  dengan  cerita dan menekankan pada karakter-karakter
Bagian ke 4
Para penulis meletakkan hal-hal ini  dipertengahan  satu   cerita:
1.      Masalah  terselesaikan
2.      Akhiran yang hilang dikuatkan
3.      Para pembaca merasakan satu kesadaran emosi yang dibangun  pada pertengahan cerita



Ke 5
Konflik
Konflik adalah  masalah yang  karakter-karakter hadapi dalam  cerita. Ada  4 macam  konflik :
1.      Konflik  anatar satu karakter dengan alam
2.      Konflik antara  satu karakter dengan masyarakat
3.      Antara  karakter-karakter.
4.      Dalam suatu  karakter itu sendiri
Bagian ke 6
Plot
Plot adalah runtutan kejadian-kejadian dalam  satu  cerita .  Plot mempunyai 4  bagian :
1.      A  problem (Suatu masalah). Suatu masalah yang memulai konflik  dipresentasikan  apa awal   sebuah  cerita
2.      Roadblocks, di pertengahan   cerita,  karakter berhadapan dengan roadblocks dalam  harapan   untuk menyelesaikan masalah.
3.      The high point.  (pointer  yang penting) The high  point di dalam praktek-nya   terjadi ketika  masalah itu  diselesaikan.  The high point  ini   berbeda  saat di tengah dan  di akhir  suatu  cerita.
4.      Solution (solusi). Masalah itu diselesaikan dan the roadblocks berada dalam jangkauan akhir cerita.


Bagian ke 7
Setting
Setting  cerita adalah  di mana dan kapan  cerita itu  mengambil tempat.
1.      Lokasi: cerita-cerita dapat mengambil   tempat di mana saja
2.      Iklim: cerita-cerita dapat mengambil tempat dalam  bergama keperbedaanm iklim (cuaca)
3.      Waktu hari: cerita-cerita dapat mengambil  tempat  ketika siang hari atau malam hari
4.      Waktu periodik: cerita-cerita  dapat mengambil  tempat  di masa lalu,  saat  sekarang, atau  masa mendatang
Bagian ke 8
Karakter-karakter
 Para  penulis membangun  karakter dalam   4  cara:
1.      Penampakan:  bagaimana  karakter  itu  tampak (berpenampilan)
2.      Aksi: Apa yang karakter-karakter  lakukan
3.      Dialog: Apa yang oleh karakter ungkapkan
4.       Monolog: apa yang karakter-karakter  pikirkan

Bagian  ke 9
Tema
 Tema  adalah  arti yang mengaris bawahi  satu cerita.
1.Tema yang eksplisit:  suatu arti dinyatakan dengan sangat gamblang dalam cerita
2.Tema Implisit: suatu arti di  sampaikan melalui  karakter-karakter, aksi dan monolog
Bagian ke 10
Pandangan
Para penulis menceritakan cerita  berdasarkan pada satu dari 4  pandangan  berikut ini :
1.      Pandangan orang pertama : Penulis  menceritakan cerita  lewat  sudut pandang  satu karakter  yang menggunakan “I”(saya).
2.      Pandangan yang maha tahu: penulis melihat semua dan tahu  semua  tentang  karakter
3.      Pandangan  maha  tahu yang terbatas:  Penulis  fokus  pada  satu karakter  dan menceritakan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan  karakter
4.      Pandangan yang objektif:  Penulis  fokus pada kejadian-kejadian cerita tanpa menceritakan apa yang karakter sedang pikirkan dan  rasakan


3.      Eksplorasi cerita. Para siswa berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan eksploratif untuk menginvestigasi alur bagaimana pengarang menerapkan elemen dalam keseluruhan cerita.  Aktifitas-aktifitas  tersebut meliputi:
a.       penceritaan kembali  satu cerita.
b.      menulis  satu penceritaan  dari  sebuah  cerita dalam  format  buku.
c.       mendramakan  satu  cerita.
d.      mempresentasikan satu pertunjukan permainan dalam satu cerita.
e.       melukiskan rangkaian-rangkaian atau diagram yang lain, untuk menampilkan struktur   cerita secara grafis.
f.       Membuat  satu  buku kelas tentang  cerita dengan masing-masing siswa memberikan  sumbangan satu halaman.
4.      Mengulang kembali elemen. Guru mereview informasi tentang elemen, menggunakan grafik yang diperkenalkan pada langkah yang pertama. Para siswa menjelaskan elemen dalam kata-kata mereka sendiri, menggunakan satu cerita yang mereka telah baca sebagai sebuah contoh.

MiniLesson  Membaca dan Menulis Cerita:
PROSEDUR
Membaca dan Menulis Cerita
Prosedur: Membuat kelompok permulaan, pertengahan dan akhiran.
Membuat sebuah peta cerita.
Membuat sebuah diagram plot.
Membuat sebuah profil plot.
Membuat kelompok karakter.
Menggunakan papan cerita.
Membuat sebuah bagan untuk membandingkan versi-versi cerita rakyat atau cerita yang lain.
Menyusun buku kolaborasi kelas.
Menulis buku rumus.
Menulis sambungan cerita.
Menilai keefektifitasan cerita.
Menilai penggunaan strategi membaca dan menulis.

KONSEP                                                             
Konsep cerita.                        
Awalan, pertengahan, akhiran.                                 
Plot.                                                             
Karakter.                                                  
Setting.                       
Tema.                            
Sudut pandang            .                      
Gaya cerita.                
Bacaan Aesthetik.                  
Interpretasi.                
Penulis-penulis.                      
Illustrator.      
Jenis-jenis illustrator.  
Sambungan cerita.                  
Strategi dan skill
Visualisasikan
Prediksikan dan  beri penguatan
Tinjau ulang
Terlibatlah dengan text
Tekankan pada karakter  
Identifikasi-lah karakter
Tulis-lah dialog untuk karakter 
Elaborasi-lah pada plot
Perhatikan-lah pertentangan dalam cerita
Ceritakan  kembali  cerita tersebut.
Awasi pemahaman.
Hubungkan dengan kehidupan diri.
Hubungkan dengan literatur yang telah dibaca  sebelumnya.
Kembangkan  cerita tersebut.
Nilailah  cerita tersebut.
Evaluasi kembali  cerita tersebut.
Analisa-lah cerita tersebut.


Sebuah daftar dari tema-tema untuk mini lesson tentang cerita-cerita dipresentasikan di atas.  Tema-tema ini termasuk prosedur,   konsep dan strategi- dan skill-skill untuk bacaan dan tulisan  cerita-cerita.
D.    Adaptasi  untuk Bertemu dengan  Kebutuhan Setiap Siswa
Cerita-cerita adalah  suatu bagian yang  besar dari  program seni bahasa  tingkat dasar  dan  para  guru harus  menemukan cara untuk melibatkan semua siswa dalam kesuksesan membaca dan menulis pengalaman-pengalaman dengan cerita-cerita. Saran-saran ini  menekankan  pentingnya keikutsertaan para siswa untuk merespon cerita-cerita sebelum mengeksplorasi mereka dan menemukan  cara-cara untuk mendorong para siswa ketika mereka  membaca  dan menulis.
E.     Konsep Analisa Evaluasi para Siswa terhadap Cerita-Cerita
Para guru  menganalisa  kembali  konsep-konsep para siswa tentang cerita-cerita  dalam banyak cara. Mereka mengobservasi para siswa ketika mereka membaca dan memberikan respon terhadap cerita-cerita.   Mereka  dapat memberikan catatan  baik  atau tidak, para siswa  mampu  peka terhadap elemen-elemen cerita ketika mereka membincangkan cerita-cerita selama percakapan   utama. Beberapa siswa membincangkan karakter yang lebih mereka senangi, atau mereka membandingkan dua  cerita  yang telah mereka baca.   Para guru  memberikan  catatan-catatan  yang  mana para  siswa menggunakan terminologi  yang terkait dengan  elemen-elemen   cerita.  Para guru  juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang elemen-elemen cerita selama percakapan-percakapan utama dan mencatat  tanggapan  yang dibuat para siswa. Buku bacaan harian para siswa juga menyediakan  alasan  tipe yang  sama atas komentar-komentar  dan  reaksi-reaksi.
F.     Adaptasi bacaan dan tulisan cerita-cerita.
Beberapa hal yang harus dilakukan untuk mempertemukan kebutuhan masing-masing siswa:
1.      Membaca  dengan keras  kepada  para  siswa.
2.      Menyemangati  para  siswa untuk memilih  cerita-cerita  lalu  membaca.
3.      Mendramakan cerita-cerita.
4.      Menulis cerita  kembali  cerita-cerita.
5.      Bekerja  dalam   gabungan  bacaan dan   tulisan-tulisan kelompok.
Cara yang lain, di mana para  siswa  mendemonstrasikan   pemahaman mereka  tentang    elemen-elemen cerita adalah dengan membuat rangkaian, lukisan dan diagram-diagram.   Aktifitas-aktifitas ini  adalah  perkembangan yang alamiah  dari  respon para siswa  untuk  suatu   cerita,  tidak  beralasan kenapa  para siswa membaca cerita-cerita (Urzu, 1992). Para guru juga mendokumentasikan pemahaman para siswa  terhadap elemen-elemen cerita dengan menguji cerita-cerita yang mereka telah tulis, hal ini  untuk melihat bagaimana mereka mengajukan pengetahuan mereka sendiri tentang cerita-cerita.
G.    Bacaan  Cerita-Cerita
 Para siswa membaca cerita-cerita  secara  estetis, dan konsep cerita mereka  memberikan informasi serta memberikan dukungan  pada bacaan mereka. Mereka membaca cerita-cerita yang populer dan memberikan penghargaan  secara  bersama-sama.  Seperti sebuah kelas selama unit yang memfokuskan pada literatur. Mereka membaca cerita-cerita yang mereka pilih sendiri dalam latihan bacaan.  Dan mereka  membaca cerita yang lain sebagai satu bagian dari lingkaran tema.  Para siswa menggunakan proses-proses  bacaan untuk membaca merespon, mengeksplorasi  dan mengembangkan bacaan mereka  sendiri.   Bacaan  cerita-cerita   dengan  para siswa  adalah hal yang lebih  ketimbang satu  cara yang menyenangkan untuk menggunakan waktu satu jam,  hal itu memungkinkan bagian komunitas-komunitas dalam   ruangan  kelas  untuk diciptakan (Cairney, 1992). Bacaan,  tulisan dan perbincangan tentang cerita-cerita adalah tambahan yang alamiah  dalam  hubungan-hubungan bahwa  para siswa  telah membangunnya  secara  bersama-sama.   Para siswa membagikan cerita-cerita yang  sedang  mereka baca dengan teman-teman kelas mereka, dan mereka bekerja secara bersama dalam  proyek-proyek untuk mengembangkan tafsiran-tafsiran mereka sendiri.
H.    Bacaan yang aestetik
Berdasarkan pandangan Louise Rosenblatt (1978), bacaan adalah pengalaman pribadi selama pembaca-pembaca berhubungan dengan cerita yang sedang mereka baca untuk  kehidupan mereka sendiri dan  pengalaman-pengalaman literatur sebelumnya. Tujuan estetis  bacaan  adalah tafsir,   negosiasi  makna  antara  pembaca dan teks (Rosenblatt, 1978,1985). Pembaca   tidak dapat menyelidiki   makna ”benar”  pengarang, di samping mereka menciptakan  suatu makna  personal  untuk mereka sendiri, sebuah  cerita mengingatkan kembali  keperbedaan  makna-makna dalam keperbedaan para pembaca atau bahkan dalam  pembaca  yang sama  dalam waktu yang berbeda  dalam kehidupan   pembaca.
   Para siswa  menggunakan  strategi ketika mereka menciptakan penafsiran-penafsiran.   Strategi-strategi ini  untuk  bacaan dan tanggapan terhadap cerita  termasuk  hal-hal berikut ini:[12]
a.       Imaginasi. Para siswa menciptakan imajinasi-imajinasi atau  gambar-gambar  cerita  yang ada dipikirkan mereka.
b.      Antisipasi. Para siswa  mengantisipasi   atau membuat prediksi  tentang pada apa yang akan  terjadi dalam cerita tersebut.
c.       Pemikiran ulang. Para siswa memikirkan kembali untuk apa yang mereka baca dan bagaimana hal itu berimbas  pada  apa yang mereka sedang baca  sekarang.
d.      Keterlibatan. Para siswa dapat terlibat dalam cerita, semakin  banyak mereka  semakin  mereka rasakan, mereka terbawa  oleh  waktu  dan ruang  dalam  cerita.
e.       Empati. Para siswa   merespon   perasaan mereka  ketika mereka  membaca.
f.       Identifikasi. Para siswa membuat hubungan-hubungan antara satu karakter dengan  mereka  sendiri
g.      Elaborasi. Para  siswa  membuat penyimpulan dan penambahan informasi  pada  apa yang mereka  baca.
h.      Pencatatan pertentangan. Para siswa mencatat tensi (perasaan) oposisi atau kontras   dalam   cerita.
i.        penceritaan ulang. Para siswa menceritakan kembali atau  merangkum  apa yang mereka   baca.
j.        Pengawasan. Para siswa membuat semakin yakin bahwa mereka sedang membaca makin membuat sense bagi mereka.
k.      Menghubungkan dengan kehidupan. Para siswa  membuat hubungan dengan  kejadian-kejadian, karakter-karakter dan aspek yang lain  dari cerita dengan  kehidupan mereka  sendiri.
l.        Menghubungkan dengan literatur. Para siswa  membuat hubungan antara cerita yang mereka   baca dengan   cerita-cerita  lain yang telah mereka  baca.
m.    Pengembangan. Para siswa  beranjak melampaui  cerita  untuk  berpikir  tentang film  atau  cara yang mana mereka akan beradaptasi  dengan  cerita   apabila mereka  sedang  menulisnya.
n.      Menilai dan mengevaluasi.  Para siswa membuat judgment tentang kenapa, mereka   suka dengan cerita   atau betapa membaca itu penting.
o.      Analisa,  para siswa menganalisa pengarang yang menggunakan struktur  elemen   cerita.

Para guru menjelaskan  strategi-strategi ini selama mini lesson, dan para siswa belajar  menggunakan strategi ketika mereka membaca  secara estetis  dan berpartisipasi  dalam aktifitas-aktifitas responsif.
   Penafsiran  membangun  secara gradual. Karena para siswa memilih sendiri  satu  buku oleh pengarang yang  favorite atau melihatnya  lewat  cover buku, maka  mereka  akan menarik dalam pemikirannya pengalaman masa lalu dan  membuat prediksi-prediksi dan penafsiran  mulai  membentuk diri,  ini berlanjut guna membangun diri siswa ketika mereka membaca,  merespon dan mengeksplorasi cerita. Ketika para siswa  mendiskusikan cerita dan menulis respon-respon dalam buku harian bacaan-bacaan, penafsiran semakin mendalam.  Para siswa  mulai beranjak  melampaui teks yang aktual ketika mereka mengerjakan proyek dan proyek-proyek ini  mengembangkan  penafsiran  lebih jauh lagi.
     Para siswa menggunakan opini yang menarik ketika membaca cerita, ketika mempertentangkan opini efferent ketika mereka membaca untuk mengingat kembali informasi.    Opini para pembaca mengambil  indikasi fokus atas perhatian mereka selama pembacaan.   Dalam  pembelajaran dalam akibat-akibat estetik atau pun  efferent  opini  yang ke 4, ke 6, ke 8 lebih tinggi  lagi  penafsiran  cerita,   Joyce  many (1991)  menemukan  para siswa yang membaca  secara  philosofis mempunyai level-level yang lebih tinggi  dalam penafsiran.
    Para  guru memberikan semangat  membaca philosophis dan penafsiran dalam banyak cara dari  berbagai cerita yang mereka bagikan dengan para siswa dalam mini lesson yang mereka ajarkan dan tipe-tipe respon dan kegiatan-kegiatan eksplorasi  yang mereka  rencanakan   untuk para  siswa, para  guru membuat sebuah iklim  ruang  kelas untuk  bacaan philosopis.  
I.       Intertekstualitas.
Ketika para siswa menciptakan  penafsiran-penafsiran,  mereka  membuat hubungan-hubungan pada  buku-buku  yang telah  mereka  baca  sebelumnya,  dan   hubungan-hubungan ini  disebut dengan intertekstualitas (de Beaugrade, 1980). Para siswa menggunakan intertekstualitas ketika merespon  buku-buku  yang  mereka baca dengan menyadari   kemiripan-kemiripan antar karakter-karakter, alur cerita, dan tema-tema.  Para siswa  juga menggunakan intertekstualitas ketika mereka  menggabungkan ide-ide dan   struktur-struktur  dalam cerita-cerita  yang  telah mereka   baca  ke dalam   cerita-cerita yang   sedang mereka  tulis.  Lima  karakteristik  intertekstualitas  adalah  (Cairney, 1990, 1992):
1).    Individual dan unik, pengalaman literatur para siswa  dan  hubungan-hubungan  yang mereka  buat  antara mereka berbeda-beda.
2).    Berdasarkan  pada  pengalaman  literatur. Intertekstualitas  adalah tergantung pada  tipe-tipe   buku-buku yang para siswa telah baca,  harapan mereka dan ketertarikan bacaan dan   komunitas-komunitas literatur  yang mereka  miliki.
3).    Kesadaran metakognitif,  kebanyakan   para  siswa  sadar akan intertekstualitas dan secara kesadaran membuat  hubungan-hubungan antara  teks  tersebut.
4).    Menghubungkan pada  konsep cerita. Hubungan-hubungan para siswa  dengan cerita-cerita adalah  hubungkan oleh pengetahuan mereka  tentang literatur.
5).    Hubungan-hubungan bacaan-tulisan. Para siswa membuat hubungan antara cerita-cerita yang mereka baca dan cerita-cerita yang   mereka tulis.
Keseluruhan pengalaman-pengalaman para siswa dengan literatur-termasuk cerita-cerita yang para orang  tua telah baca dan ceritakan kepada  anak-anak mereka,  buku-buku  para siswa  yang  telah membaca atau mereka dengar dari guru  yang membaca  dengan keras, versi  film-film  yang  telah mereka kaji ulang, konsep-konsep cerita mereka ada pengetahuan tentang pengarang-pengarang dan  ilustrasi-ilustrasi dan buku-buku.


BAB III
PENUTUP
Simpulan.
Anak-anak muda mempunyai basis kesadaran tentang  pembuatan cerita. Pengetahuan tentang  cerita-cerita disebut dengan  suatu  konsep tentang cerita.  Konsep anak-anak  tentang  cerita termasuk  informasi tentang  elemen-elemen atas struktur cerita, seperti  karakter-karakter,  alur cerita, dan setting/latar sama juga dengan informasi  tentang  kebiasaan-kebiasaan yang penulis  gunakan. Pengetahuan ini  biasanya bersifat intuisi, yakni  anak-anak tidak menyadari   tentang apa yang mereka ketahui. Golden (1984) menggambarkan  konsep  cerita anak-anak sebagai “suatu representasi mental dalam struktur cerita, secara esensial suatu garis-garis besar atas basis elemen-elemen cerita dan susunan-nya”.
Ada  lima elemen dari struktur  cerita, yakni:
1.      plot (alur cerita), adalah serangkaian kejadian-kejadian yang melibatkan karakter-karakter  di dalam  situasi-situasi konflik.
2.      karakter, adalah tabiat atau kebiasaan.
3.      setting, Sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. (Abrams, 1981:175).
4.      tema, ialah makna yang penting pada sebuah cerita, dan mengandung kebenaran umum tentang fitrah manusia, (lehr, 1991).
5.      sudut pandang, Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang memandang ceritanya.

Cara yang paling penting untuk para siswa mengembangkan konsep-konsep  mereka  adalah dengan cara membaca dan menulis cerita-cerita, tetapi para guru membantu para siswa dalam memperluas konsep-konsep mereka melalui pelajaran-pelajaran yang sederhana fokus pada keseluruhan elemen-elemen cerita. Pelajaran kecil-kecilan (minilesson) biasanya diajarkan kepada mereka pada  tahap eksplorasi dalam proses membaca, hal ini dilakukan  setelah para siswa  mempunyai  kesempatan  untuk membaca  dan merespon  suatu  cerita serta mendiskusikan  tanggapan-tanggapan mereka.
Cerita-cerita adalah  suatu bagian yang  besar dari  program seni bahasa  tingkat dasar  dan  para  guru harus  menemukan cara untuk melibatkan semua siswa dalam kesuksesan membaca dan menulis pengalaman-pengalaman dengan cerita-cerita.
Para guru  menganalisa  kembali  konsep-konsep para siswa tentang cerita-cerita  dalam banyak cara. Mereka mengobservasi para siswa ketika mereka membaca dan memberikan respon terhadap cerita-cerita.
Beberapa hal yang harus dilakukan untuk mempertemukan kebutuhan masing-masing siswa:
1.      Membaca  dengan keras  kepada  para  siswa.
2.      Menyemangati  para  siswa untuk memilih  cerita-cerita  lalu  membaca.
3.      Mendramakan cerita-cerita.
4.      Menulis cerita  kembali  cerita-cerita.
5.      Bekerja  dalam   gabungan  bacaan dan   tulisan-tulisan kelompok.
Para siswa membaca cerita-cerita  secara  estetis, dan konsep cerita mereka memberikan informasi serta memberikan dukungan  pada bacaan mereka. Mereka membaca cerita-cerita yang populer dan memberikan penghargaan  secara  bersama-sama.
Berdasarkan pandangan Louise Rosenblatt (1978), bacaan adalah pengalaman pribadi selama pembaca-pembaca berhubungan dengan cerita yang sedang mereka baca untuk  kehidupan mereka sendiri dan  pengalaman-pengalaman literatur sebelumnya. Tujuan estetis  bacaan  adalah tafsir,   negosiasi  makna  antara  pembaca dan teks (Rosenblatt, 1978,1985).
 Lima  karakteristik  intertekstualitas  adalah  (Cairney, 1990, 1992):
1.      Individual dan unik, pengalaman literatur para siswa  dan  hubungan-hubungan  yang mereka  buat  antara mereka berbeda-beda.
2.      Berdasarkan  pada  pengalaman  literatur.
3.      Kesadaran metakognitif.
4.      Menghubungkan pada  konsep cerita.
5.      Hubungan-hubungan bacaan-tulisan.


DAFTAR PUSTAKA

http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/08/plotalur.html
http://pendikananakdesa.blogspot.com/2010/05/pengertian-dan-macam-latar-setting.html
Singh, N. K. 2000. Encyclopaedia of the Holy Qur’ân Edisi I. New Delhi: Balaji Offset.
Byrne, Rhonda. 2007. The Secret. Jakarta: PT Gramedia.
Murphy, Joseph. 2002. Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar. Jakarta: Spektrum.
W. Gunawan, Adi. 2005. Hypnosis The Art of Subconscious Communication. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Adi W. Gunawan &  Setyono, Ariesandi.  Manage Your Mind for Success. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Setyono, Ariesandi.2006.  Hypnoparenting: Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


[1] http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/08/plotalur.html

[2] N.K. Singh dan Mr. A.R. Agwan, Encyclopaedia of the Holy Qur’ân, (New Delhi: balaji Offset, 2000) Edisi I h. 175
[3] http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.html
[4]Rhonda Byrne, The Secret, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), h.17
[5] Joseph Murphy D.R.S., Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta, SPEKTRUM, 2002), h. 6.
[6] Adi W. Gunawan, Hypnosis – The Art of Subconscious Communication, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. 27-30.
[7] Adi W. Gunawan dan Ariesandi Setyono, Manage Your Mind for Success, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) h. 38
[8] Ariesandi Setyono, Hypnoparenting: Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 50

[9] http://pendikananakdesa.blogspot.com/2010/05/pengertian-dan-macam-latar-setting.html

[10] http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/2043784-pengertian-sudut-pandang/
[11] http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2043783-pengertian-tema/

[12] Corcoran, 1987,Cox & Many, 1992, Tompkins & McGee,1993

0 komentar:

Posting Komentar